Raja Mataram yang paling besar jasanya dalam pemberlakuan hukum Islam, baik dalam bentuk kultural maupun institusional adalah Sultan Agung. Dicatat oleh ahli sejarah, di samping sukses dalam pengembangan wilayah, ia juga memperlihatkan keberhasilan dalam bidang agama dan kebudayaan, karena ekspansi dalam perluasan wilayah disemangati oleh keinginan untuk mengislamkan daerah-daerah tersebut.
Diungkapkan, betapa Sultan Agung telah berhasil membangun ibukota Mataram di Kerta dan mendirikan Keraton Plered yang seringkali dikaitkan dengan lahirnya peradaban Jawa. Peninggalan Sultan Agung yang legendaris adalah usaha pembaharuannya dalam kalender Jawa. Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang dikenal di Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebh terkenal dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (Hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka. Dalam sistem baru ini terdapat perubahan nama bulan, misalnya bulan Safar dalam tahun Hijriyah menjadi Sapar dalam tahun Jawa, Rajab menjadi Rejeb, Zulkaedah menjadi Dulkangidah, Muharam menjadi Sura, dan Ramadhan menjadi Pasa. Ciri lain terlihat pada hari yang dikenal sebagai hari pasaran yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Wuku, dan Wuwu (dua yang terakhir tidak ditemukan lagi sekarang). Sistem ini diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1633 / 1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa
2.Hukum islam pada masa Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda mulai berkuasa di tanah air kita, hukum islam telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, disitu pengaruh Islam (termasuk hukumnya) sangat menonjol, bahkan menurut sejarah jauh sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, hukum Islam pernah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di beberapa kerajaan Islam di Indonesia.
Di samping hukum Islam, hukum adat sebagai sistem hukum juga berlaku di tengah-tengah masyarakat sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang berdasarkan alam fikiran bangsa Indonesia. Antara kedua sistem hukum itu dalam perkembangannya saling pengaruh mempengaruhi, seolah-olah di antara keduanya terjadi sinkronisasi. Mungkin berdasarkan kenyataan inilah, sehingga timbul anggapan dari pemerintah Hindia Belanda yang memandang Hukum asli dari bangsa Indonesia adalah terdiri dari hukum agama.
Anggapan seperti ini mempengaruhi pula pemerintah inggris yang pernah juga berkuasa lebih kurang 5 tahun (1811-1816) dibawah pimpinan Yhomas Stfford Raffles, yang berpendapat bahwa hukum adat yang berlaku bagi bangsa Indonesia berasal dari hukum agama, sehingga dalam proses peradilan, jaksa dan penghulu keduanya bertugas memberi advis menurut menurut hukum adapt yang disangkanya identik dengan hukum agama.
Setelah Belanda kembali menjajah Indonesia (sesudah penjajahan Inggris), maka berdasarkan anggapan tersebut lahirlah teori Receptio In Complexu oleh Mr. L.W.C van Den Berg, penasehat hukum Islam pemerintah Hindia Belanda yang pada dasarnya berbunyi (Soekanto, 1981 : 66), Resepsi hukum Hindu oleh kaum Hindu, hukum Nasrani oleh kaum Nasrani dan hukum Islam oleh kaum Islam. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan,menurut ajaran ini hukum pribumi mengikuti hukum agamanya oleh karma adalah konsekuensi baginya, bahwa memeluk suatu agama harus pula mentaati hukum-hukumnya dengan setia. (Tentang teori ini lihat juga pembahasannya pada waktu membicarakan tentang bidang-bidang/lapangan-lapangan hukum Islam).
Sebagai reaksi dari teori ini maka keluar pula teori Receptie, dari C. Snouck Hurgronje yang beranggapan, bahwa berlakunya hukum islam hanya sekadar setelah diresepsi oleh hukum adat. Jelas sekali, bahwa teori receptie ini bertujuan membatasi berlakunya hukum Islam serta menghalangi perkembangannya di Indonesia.
Dengan berdasarkan teori ini pemerintah Hindia belanda berhasil memperkecil peranan hukum Islam dalam hukum positif, sehingga hanya terbatas pada hukum perkawinan, (khususnya syarat-syarat sahnya perkawinan) dan perceraian serta mengenai badan hukum yang berbentuk wakaf; disana-sini mungkin juga tentang Hibah, Wasiat dan Shadaqah.
Sebagai konsekuensi diakuinya hukum Islam dalam peraturan perundangan Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam beberapa pasal RR dan IS, maka di lapangan peradilan di samping peradilan gubermen, peradilan adapt dan peradilan swapraja, dikenal pula peradilan Islam yang
berwenang menyelesaikan perkara-perkara menurut hukum Islam secara sangat terbatas.
3. Hukum islam pada masa pendudukan jepang
Salah satu di antaranya adalah undang-undang nomor 1 tahun 1942. Undang-undang ini menegaskan bahwa pemerintah jepang meneruskan segala kekuasaan sebelumnya dipegang oleh gubernur jenderal hindia belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi pemberlakuan hukum islam sebagaimana kondisi pendudukan belanda pada masa yang terakhir.
Meskipun demikian, pemerintah pendudukan jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat islam di Indonesia. Di antara kebijakan tersebut adalah : a. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau jawa.b. Mendirikan shumubu (kantor urusan agama islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.c. Mengizinkan berdirinya ormas islam, seperti muhammadiyah dan NU.d.Menyetujui berdirinya Majelis Syura Musilimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.e. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.f. Berupaya memenuhi desakan para tokoh islam untuk mengembalikan kewenangan pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat,Soepomo, pada bulan January 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun, upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh soepomo dengan alasan kompleksitas serta menundanya hingga Indonesia merdeka.
4. Hukum islam pada masa menjelang kemerdekaan republik indonesia
Hal ini dilakukan seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis jepang dalam memenangkan perang yang membuka jalan untuk kemerdekaan indonesia. Jepang mulai melirik dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis indonesia. Dalam hal ini jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin indonesia masa depan. Karenanya, tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara seperti dewan penasehat dan BPUPKI kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, hanya 11 orang yang mewakili kelompok islam. Atas dasar itu, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI” bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun soekarno dan muhammad hatta berusaha agar anggota badan ini cukup representif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat indonesia. ”
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirya apa yang disebut piagam jakarta. Kalimat kompromi paling penting piagam jakarta terutama pada kalimat:”negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut muhammad yamin, kalimat ini menjadikan indonesia merdeka, bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara islam. Dengan rumusan semacam ini, sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan pembentukan adanya undang-undang untuk melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya. Akan tetapi rumusan kompromis piagam jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan akan disahkan pada tanggal 18 agustus 1945 oleh PPKI.
5.Hukum islam pada masa sesudah kemerdekaan
Sesudah proklamasi kemerdekaan, perkembangan hukum Islam lebih maju lagi dibanding dengan keadaannya pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu.
Sebagai salah satu wujud dari kemerdekaan beragama sebagaimana tercantum pada pasal 29 ayat (2) tersebut, maka pada tanggal 3 januari 1946, dibentuklah Departemen Agama yang betugas mengurus berbagai bidang yang menyangkut masalah-masalah keagamaan (termasuk hukum agama) di Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa bidang hukum Islam telah dinyatakan diterima dalam hukum Nasional sebagai hukum positif,seperti antara lain, Hukum Perkawinan dalam UU No. 1/1974, tentang Perkawinan, Hukum Perwakafan melalui pasal 49 ayat 3 Undang-undang Pokok Agraria dan PP No. 28/1977, Tentang Perwakafan Tanah Milik dan lain-lain.
Pembentukan berbagai pesantren, madrasah-madrasah Islamiyah dan organisasi-organisasi yang bernafaskan Islam di seluruh tanah air turut memberi warna terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
Masa ini terbagi atas;
1.Hukum islam pada masa orde lama (1945-1950)
Perjuangan mengangkat hukum Islam juga dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam pada saat menjelang kemerdekaan. Hasilnya adalah disetujuinya rumusan kompromi yang dituangkan dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dengan tambahan rumusan sila pertama berbunyi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun dalam persidangan-persidangan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) selanjutnya perjuangan tersebut mengalami kemunduran. Keinginan-keinginan golongan Islam yang telah diajukan sebelumnya semuanya ditolak, bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi simbol kemenangan Islam dihapuskan, kata Allah dalam Mukaddimah diganti dengan Tuhan dan kata Mukaddimah diubah menjadi pembukaan.
Salah satu makna kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwayakni dengan lahirnya ideologi “Nasakom” yang menyatukan paham “nasionalis, agama, dan komunis”. Tindakan tersebut sangat tidak masuk akal karena Islam sebagai agama tauhid tidak mungkin bisa disatukan dengan komunis. Karena itu tindakan tersebut mendapat reaksi yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam waktu itu sehingga tidak bisa dikembangkan dan dalam waktu dekat ideologi ini terkubur dengan
2.Hukum islam pada masa orde baru (1966-1998)
Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum Islam yang bersifat nasional, yaitu UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Sebagai produk politik, undang-undang perkawinan ini merupakan kompromi berbagai kekuatan politik dengan aspirasi hukumnya masing-masing. Pasal 2 ayat (2) UU no.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (pada masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan agama.
Dalam Bab III pasal 49-53 kewenangan Peradilan Agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, serta wakaf dan sadakah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah). Setelah draft disetujui, maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai dasar penyebarluasannya. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Format KHI teragi ke dalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan, dan buku tiga tentang hukum perwakafan.
Keinginan umat Islam untuk memberlakukan hukum Islam semakin menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majlis Ulama Indonesia. Di samping itu juga muncul aksi-aksi sosial untuk menegakkan hukum Islam, seperti pelarangan SDSB, kebebasan berjilbab di sekolah dan kantor dan lain-lain. Disamping itu muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum Islam, seperti UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
3.Hukum islam di masa reformasi (1998-sekarang)
Pada awalnya muncul pemikiran untuk menghidupkan lagi Piagam Jakarta. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, sehingga wajar jika hukum agamanya diberlakukan. Kondisi ini terjadi terutama di daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Nangroe Aceh Darussalam dan Makassar. Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No. 31 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum. Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam adalah banyak daerah menerapkan hukum Islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhya dapat dilihat di provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar