BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Kesepakatan dan kecapakapan adalah
salah satu syarat sahnya perjanjian . Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka
perjanjian tersebut bisa dibatalkan atau batal demi hukum
Kesepakatan adalah sebagai pernyataan
kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak.
Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak
yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptie). Semua perjanjian harus
diawali dengan kata sepakat.
Kecakapan seseorang
bertindak di dalam
hukum atau untuk
melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya
seseorang tersebut dikatakan
dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam menentukan
apakah seseorang tersebut
dapat atau belum
dapat dikatakan cakap bertindak
untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada
suatu keadaan sudah
atau belum dewasanya
seseorang menurut hukum untuk
dapat bertindak di
dalam hukum yang
ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam
hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala
perbuatan hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.KESEPAKATAN
1.1 Pengertian “kata sepakat”
Bahwa, Menurut Prof. Dr. Mariam Darus
Badrulzaman SH dalam buku “Kompilasi Hukum Perikatan” halaman 74 menyatakan
sebagai berikut :
“Pengertian sepakat dilukiskan
sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara
para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).
Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptie)”
Bahwa, adapun teori-teori suatu
keadaan yang menyatakan “saat terjadi”nya kata sepakat dalam perjanjian adalah
sebagai berikut
a.
Teori Kehendak (wilstheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya
dengan menuliskan surat
b.
Teori Pengiriman (verzendtheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan
terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima
tawaran
c.
Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa pihak
yang menerima tawaran seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima
d.
Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh
pihak yang menawarkan
1.2 kesepakatan diam-diam (silence
agrement)
Bahwa, dengan adanya kesepakatan
berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal
pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus
mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana
kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.
Bahwa, adapun dasar hukum dari
perjanjian diam-diam dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1347 KUHPerdata, yaitu
sebagai berikut :
“Hal-hal yang, menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian,
meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”
Bahwa, menurut J. Satrio dalam buku
yang berjudul “hukum perjanjian”, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992 hlm 133,
menyebutkan “dalam mengutarakan kehendak dapat dilakukan secara tegas atau
secara diam-diam, tertulis (melalui akta otentik atau dibawah tangan) atau
dengan tanda”
Bahwa, mengenai persetujuan atau
kesepakatan diam-diam, dapat merujuk pula pada yurisprudensi Mahkamah Agung
sebagai berikut :
1.
Putusan Mahkamah Agung No. 1284 K/Pdt/1998 tanggal 18 Desember 2000 yang
memiliki pertimbangan hukum bahwa perjanjian diam-diam membawa akibat yuridis
bahwa perjanjian tersebut berlaku sebagai hukum diantara para pihak
2.
Putusan Mahkamah Agung No. 2178 K/Pdt/2008 yakni perkara antara PT. Dwi
Damai dengan PT. Philips Indonesia tentang pendistribusian dan penjualan
produk-produk bermerek Philips. Dalam pertimbangan hukum putusan disampaikan
antara lain:
“...bahwa setelah berakhirnya masa
perjanjian kerja sama distributorship yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2002
dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2003, kedua belah pihak masih tetap
melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan beritikad baik (goeder
trouw, bonafide) seperti transaksi-transaksi pemesanan barang, pembayaran dan
sebagainya, selayaknya perjanjian yang belum berakhir. Hal ini adalah
mencerminkan adanya faktor Simbiosis-mutualistis, yaitu para pihak sama-sama
membutuhkan peranan salah satu pihak. Dengan adanya perbuatan hukum yang
dilakukan berupa transaksi-transaksi perdagangan biasa, maka secara diam-diam
kedua belah pihak telah menyatakan sepakat untuk dan oleh karena itu tunduk dan
masuk kepada pembaharuan perjanjian distributorsbip tahap ke-2, yakni
sebagaimana yang tercantum dalam Surat Perjanjian (Vide Bukti P-l) bahwa atas
kesepakatan kedua belah pihak, perjanjian ini dapat diperbaharui untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun berikutnya yakni sampai dengan tanggal 31 Desember 2006;
“Dengan kesepakatan diam-diam itu,
maka berlaku mutlaklah asas konsensualitas (vide Pasal 1320 KUHPerdata) yang
merupakan kekuatan Undang-Undang bagi para pihak (vide Pasal 1338 KUHPerdata).”
3.
Arrest Hoge Raad, HR. 29 Desember 1939, NJ. 1940, 274 yang pada pokoknya
memberikan kaidah hukum sebagai berikut :
“bahwa disepakatinya suatu perjanjian
bisa terjadi atas dasar perilaku para pihak. Untuk menilai apakah dalam suatu
peristiwa tertentu para pihak secara diam-diam telah memberikan sepakatnya
untuk memperpanjang perjanjian yang telah berakhir, bisa dilihat dari perilaku
para pihak pada waktu sebelum maupun sesudah perjanjian lama berakhir”
2.KECAKAPAN DALAM PERJANJIAN
2.1 kecakapan berbuat hukum ( hendelings bekwaanheid) dan
kewenangan bertindak menurut hukum atau recthts bevoegdheid
UU menentukan bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus
telah cakap dan berwenang. Seseorang dapat di katakan telah cakap dan
berwenang, harus memenuhi syarat-syarat yang di tentukan oleh UU yatiu telah
dewasa, sehat pikiranya (tidak di bawah pengampuan) sreta tidak bersuami bagi
wanita.
Menurut pasal 330 KUH Perdata
seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum
mencapai umur tersebut. Mengenai kedudukan seseorang istri, sejak keluarnya
surat ederan Mahkamah Agung No. 3 tahun
1963, tanggal 5 september 1963 mencabut pasal 108 dan 110 KUH Perdata
maka status sebagai istri tidak lagi
mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang di lakukanya.
Dengan kata lain sejak di cabutnya
pasal 108 dan 110 KUH Perdata oleh surat ederan Mahkamah Agung di atas, maka istri adalah cakap bertindak
dalam hukum, di samping UU juga telah menetukan bahwa walaupun tidak memenuhi
syarat-syarat di atas, seseorang di anggap cakap dan berwenang melakukan
perbuatan hukum tertentu. Kecakapan berbuat dan kewenangan bertindak menurut
hukum ini adalah di benarkan dalam
ketentuan UU itu sendiri, yaitu:
1. Seseorang
anak yang belum dewasa (belum menncapai umur 21 tahun) dapat melakukkan
seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dalam telah mendapat
surat pernyataan dewasa (venia aetatis) yang di
berikan oleh presiden, setelah mendengar nasehat Mahkamah Agung (pasal
419 dan 420 KUH Perdata).
2. Anak yang berumur 18 tahun dapat
melakukan perbuatan hukum tertentu setelah menndapat surat pernyataan dewasa
dari pengadilan, (pasal 426 KUH Perdata).
3. Seseorang
yang berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat . (pasal 897 KUH
Perdata).
4. laki-laki yang telah mencapai umur 15
tahun dan perempuan yang telah berumur
15 tahun dalam melakukan perkawinan.(pasal 29 KUH Perdata).
5. Pengakuan anak dapat di lakukan oleh orang
yang telah berumur 19 tahun,
(pasal 282 KUH Perdata).
6. Anak yang telah berumur 15 tahun dapat
menjadi saksi. (pasal 1912) KUH
Perdata).
7. Seseorang yang telah di taruh di bawah pengampuan karena
boros dapat:
a. Membuat surat wasiat (paslal 446 KUH
Perdata ).
b. Melakukan perkawinan. (pasal 452 KUH
Perdata).
8. Istri
cakap bertindak dalam hukum dalam hal :
a. Dituntut dalam perkara pidana, menuntut
peerceraian perkawinan, pemisahan meja dan ranjang serta menuntut pemisahan harta kekayaan.
(pasal 111 KUH Perdata).
b. Membuat surat wasiat. Pasal (118 KUH
Perdata).
Di dalam hukum,
seseorang dapat dikatakan cakap bertindak di dalam hukum
adalah apabila seseorang tersebut telah
dewasa. Dalam hukum
perdata Indonesia, yaitu
berdasar pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata),
batasan umur dewasa seseorang diatur dalam Pasal 330 yang menentukan
bahwa : “Batasan dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap 21 (dua
puluh satu)tahun,dan tidak
lebih dahulu telahmenikah.” Kecakapan
untuk membuat suatu
perjanjian diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata yang mengatur
tentang syarat sahnya
suatu perjanjian menentukan bahwa :Untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat :
• Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya;
• Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian;
• Suatu hal tertentu;
• Suatu sebab yang halal.
Sehingga berdasarkan Pasal 330 jo 1320
KUHPerdata tersebut maka
seseorang yang dapat dikatakan
dewasa menurut hukum perdata di Indonesia yaitu
telah berumur 21 tahun, dimana dewasa menurut KUHPerdata berarti cakap
bertindak dalam hukum.
Sementara itu
dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut Undang-undang Perkawinan)
tentang syarat dewasa agar seseorang
telah dianggap cakap
bertindak untuk
melangsungkan perkawinan adalah
apabila telah berusia
18 tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 dan
Pasal 50, yang berturut-turut menentukan : Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya”. Pasal 50 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.
Selanjutnya dalam hukum agraria,
tentang batasan seseorang
dianggap dewasa dan cakap
bertindak di dalam
hukum atau melakukan
perbuatan hukum adalah
sebagaimana tampak dari Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli 1977 yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa, bagi golongan penduduk yang tunduk
pada hukum Eropa (mestinya: yang tunduk pada BW) dan golongan penduduk Cina
(mestinya Timur Asing Tionghoa ) dan Timur asing bukan Cina, umur dewasa dengan
mengacu kepada Staatblaad 1924 : 556 dan Staatblaad 1924:
557 adalah 21 tahun. Sedangkan
untuk orang-orang yang tunduk
pada hukum adat ditentukan, apabila seorang Notaris atau PPAT
mempergunakan batas umur
19 atau 20
tahun untuk dewasa
maka hal itu
dapat diterima sebagai benar.
Sementara
cakap bertindak sebagai
penghadap dalam pembuatan
akta notaris ditentukan dalam
Pasal 39 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang
Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebutUUJN) yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2004 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 3 dan dalam Tambahan
Lebaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2014 Nomor 5491, yang
menentukan bahwa : “Penghadap
harus memenuhi syarat
sebagai berikut : (a) paling
rendah telah berumur 18
tahun atau telah
menikah; (b) cakap
melakukan perbuatan hukum”. Cakap bertindak yang ditentukan oleh Pasal 39
ayat (1) huruf a UUJN adalah
18 tahun sebagai
batasan umur kecakapan
penghadap dihadapan notaris.
Notaris dalam sistem hukum
di Indonesia diberi
wewenang dan tugas
untuk membuat akta otentik dan mencatatkan berbagai perbuatan-perbuatan hukum dalam bentuk
perjanjian-perjanjian dibuat di bawah tangan
serta mengesahkan
surat-surat/dokumen-dokumen agar mempunyai
nilai dan kekuatan sebagai
alat bukti.
Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu)
maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi
dua), demikian pula
dikatakan oleh Chainur
Arrasjid bahwa perbuatan hukum terdiri dari 2 (dua), yaitu :
• Perbuatan hukum sepihak :Yaitu perbuatan
hukum yang dilaksanakan
oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan
kewajiban pada satu
pihak pula. Misalnya pembuatan surat wasiat dan pemberian
suatu benda (hibah).
• Perbuatan hukum dua pihak :Yaitu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak
(timbal balik). Misalnya membuat
persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.
Di antara perbuatan-perbuatan hukum
tersebut seperti membuat :
surat wasiat, perjanjian sewa-menyewa, pengikatan jual beli dan
pemberian kuasa menjual atas sebidang
tanah hak milik,perjanjian hutang-piutang dan lainnya.
Dalam hal perbuatan hukum bersegi dua, dalam
lalu lintas hukum dikenal dengan membuat perjanjian.
Perjanjian menurut Subekti merupakan
suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
orang lain atau
di mana 2
(dua) orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat
dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun
tertulis.
Demikian juga dengan Sudikno
Mertokusuma mengatakan perjanjian merupakan
hubungan hukum antara dua pihak
atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan konsekuensi yuridis.
Berdasarkan pada
pendapat diatas suatu
perjanjian merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, saling
berjanji dan mengikatkan dirinya untuk melakukan atau berbuat sesuatu dalam
mana salah satu pihak berhak atas prestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak
lain berkewajiban untuk melakukan hal tersebut dengan disertai
sanksi.
Perjanjian diatur
dalam buku II
tentang Perikatan yang
menamai dengan persetujuan, Pasal 1313 KUHPerdata menentukan bahwa “Suatu
persetujuan adalah perbuatan dengan
mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Dalam suatu perjanjian mempunyai unsu-runsur, yaitu unsur essensialia
yaitu unsur yang bersifat mutlak harus ada dalam suatu perjanjian dimana tanpa
adanya unsur tersebut,
perjanjian tidak mungkin ada. Kemudian unsur naturalia untuk perjanjian yang oleh undang-undang diatur
tetapi oleh para pihak dapat
disingkirkan atau diganti
sedangkan unsur accidentalia merupakan
unsur perjanjian yang
ditambahkan oleh para
pihak sementara undang-undang sendiri
tidak mengatur tentang hal
tersebut. Keseluruhan unsur-unsur yang terkadung dalam suatu perjanjian,
oleh Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian.
Perjanjian
dapat dibuat secara
lisan dan secara
tertulis. Perjanjian tertulis dapat pula
dibedakan antara perjanjian
yang dibuat dibawah
tangan dan dibuat secara
otentik. Suatu perjanjian
dibuat secara otentik
yang lazimnya disebut dengan akta
otentik, merupakan suatu
perjanjian tertulis yang
dibuat dengan memenuhi ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata, yang menentukan
bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu, dan di
tempat dimana akta
itu dibuatnya”, sehingga
suatu perjanjian yang dibuat
secara otentik merupakan
suatu perjanjian tertulis
yang dibuat dihadapan dan/atau oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu, dan
dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang dan dibuat di wilayah kewenangan pejabat umum yang berwenang
membuat akta tersebut.
Sebaliknya suatu perjanjian
di bawah tangan yang lazim juga
disebut akta di bawah tangan merupakan perjanjian yang dibuat oleh
para pihak tanpa
bantuan pejabat umum
yang berwenang untuk membuat suatu perjanjian. Kedudukan
masing-masing akta tersebut berbeda satu dengan
yang lainnya. Suatu
akta otentik kedudukannya
sebagai alat bukti
yang mempunyai kekuatan sebagai alat bukti sempurna, artinya sebagai
alat bukti suatu akta otentik tidak
memerlukan alat bukti
lain untuk membuktikan
sesuatu peristiwa atau perbuatan hukum. Sementara akta di bawah tangan
kedudukannya sebagai alat bukti
yang tidak mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna,
oleh karenanya kedudukannya sangat tergantung pada alat bukti lain
seperti pengakuan dari pihak-pihak yang
membuat perjanjian, yang
mengakui atau menyatakan bahwa perjanjian tersebut benar
adanya.
Salah
satu akta otentik
adalah akta yang
dibuat dihadapan dan/atau
oleh notaris sebagai pejabat
umum sebagaimana dimaksud
ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata. Suatu
akta notaris sebagai
akta otentik, selain
harus dibuat memenuhi ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata seperti di atas juga harus memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab akta notaris
sebagai akta otentik pada umumnya merupakan perjanjian yang dengan sengaja
dibuat oleh para
pihak agar mempunyai
kekuatan pembuktian
sempurna. Oleh karenanya,
perjanjian-perjanjian yang dibuat
dalam bentuk akta notaris harus memenuhi syarat yaitu :
(1) para pihak telah sepakat tentang hal-hal yang diperjanjikan dalam akta; (2)
para pihak yang membuat akta adalah mereka yang
telah memenuhi kriteria
cakap bertindak menurut
hukum; (3) obyek
yang diperjanjikan di dalam
akta sebagai obyek
perjanjian merupakan sesuatu
hal tertentu; dan (4) perjanjian yang dibuat dan dituangkan dalam bentuk
akta notaris lahir dari suatu sebab yang halal atau obyek perjanjian dalam akta
notaris bukan merupakan obyek yang
dilarang oleh peraturan
perundang-undangan yang
berlaku, oleh norma
agama, norma kesusila
maupun norma-norma kepatutan lainnya. Dari keseluruhan
syarat sah dibuatnya
akta notaris seperti
di atas, salah satunya
yang hendak dikaji
dalam tulisan ini
adalah tentang syarat
para pihak yang membuat
akta notaris adalah
mereka yang telah
memenuhi kriteria cakap bertindak menurut
hukum atau yang
dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata disebut sebagai
syarat cakap mereka
yang mengikatkan dirinya.
Dalam UUJNtentang hal
diatur dalam ketentuan
Pasal 39 ayat
1 huruf a
dan b yang menentukan bahwa
: “(a) paling
rendah telah berumur
18 tahun atau
telah menikah; (b) cakap
melakukan perbuatan hukum”.
Dari kedua syarat
yang dimaksud dalam ketentuan
tersebut, syarat huruf
b yang menentukan
cakap melakukan perbuatan merupakan ketentuan yang tumpang tindih kalau
tidak mau disebut sebagai konflik norma dengan ketentuan huruf a untuk dapatnya
seseorang dikatakan memenuhi syarat
sebagai penghadap atau
yang dalam praktek kenotarisan disebut
dengan istilah komparan,
karena para penghadap
yang bertindak sebagai pihak-pihak yang membuat akta notaris disebut
dengan istilah komparisi, sehingga dapat
mengaburkan makna dari
norma yang terkandung dalam huruf
a. Dikatakan demikian
karena menurut hemat
penulis, ketentuan huruf a
dimaksudkan sebagai ketentuan
normatif yang menjelaskan
dengan menentukan batasan umur
seseorang, yakni 18
tahun atau telah
menikah untuk dapat atau tidak
dapatnya seseorang bertindak dalam akta notaris. Norma dalam ketentuan huruf
a tersebut bertujuan
menjelaskan sekaligus memberi
batasan secara limitatif usia seseorang untuk dapat sebagai komparan
yang secara yuridis menjadi legitimasi kepada seseorang telah cakap bertindak
di dalam hukum atau cakap melakukan perbuatan
hukum. Dengan adanya
ketentuan huruf b yang
mensyaratkan seseorang dapat
bertindak sebagai penghadap/komparan adalah mereka yang cakap melakukan perbuatan
hukum menjadikan ketentuan Pasal 39 ayat
(1) menjadi kabur,
karena sekali lagi,
terhadapnya memerlukan penjelasan atau kajian
tentang apa kriteria
dan keadaan bagaimana
seseorang agar dapat dikatakan dan memenuhi syarat cakap
melakukan perbuatan hukum tersebut.
Kecakapan bertindak
merupakan kewenangan umum
untuk melakukan tindakan hukum.
Setelah manusia dinyatakan
mempunyai kewenangan hukum maka selanjutnya kepada mereka
diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya oleh karenanya
diberikan kecakapan bertindak.
Di satu sisi, manusia
adalah subyek hukum
sebagai pengemban hak
dan kewajiban hukum yang
kemudian diejawantahkan ke
dalam bentuk kewenangan
hukum. Terkait dengan hak
terdapat kewenangan untuk
menerima, sedangkan terkait
dengan kewajiban terdapat kewenangan
untuk bertindak (disebut
juga kewenangan bertindak).Kewenangan hukum
dimiliki oleh semua
manusia sebagai subyek hukum, sedangkan kewenangan bertindak
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor usia, status (menikah
atau belum), status sebagai ahli waris, dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1329
KUHPerdata yang menentukan bahwa :
“Setiap orang
adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan, jika
ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan cakap”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kecakapan bertindak
berlaku bagi semua orang, setiap orang pada asasnya cakap untuk bertindak,
kecuali undang-undang menentukan lain. Kecakapan bertindak
(handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan
umum, yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk
melakukan tindakan hukum
pada umumnya. Sehingga untuk
mampu membuat suatu
perjanjian, oleh karenanya
dipandang telah dewasa sehingga
tidak dibawah pengawasan
karena perilaku yang
tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang
membuat suatu perjanjian.
Cakap
tidaknya seseorang bertindak
di dalam hukum
dapat pula dihubungkan dengan
keadaan diri seseorang, yaitu seorang telah dewasa atau akil balik, sehat
jasmani maupun rohani,
dianggap cakap menurut
hukum sehingga dapat untuk
melakukan tindakan hukum atau membuat suatu perjanjian.
Selain faktor
kedewasaan yang ditentukan
oleh umur juga
oleh faktor lain seperti status menikah yang dapat
mempengaruhi kecakapan bertindak seseorang di dalam hukum. Menurut hukumyang
berlaku saat ini, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak-haknya, selain itu
dalam hukum juga ditentukan bahwa tidak semua orang diperbolehkan
melakukan perbuatan hukum
sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. Sebab
terdapat beberapa golongan
orang yang oleh
hukum dinyatakan tidak cakap
untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1330
KUHPerdata menyatakan bahwa :Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
• Orang yang belum dewasa;
• Orang yang ditaruh di bawah
pengampuan;
•
Orang-orang perempuan,
dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh Undangundang,
dan pada umumnya
semua orang kepada
siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari deskripsi di atas, ternyata bahwa
kedewasaan dan kecakapan menjadi penting
ketika dihadapkan pada
syarat sahnya subyek
hukum dalam melakukan perjanjian dalam bentuk tertulis
secara otentik dalam suatu akta notaris, karena hal tersebut
berkorelasi pada kepastian,
ketertiban dan perlindungan
hukum sebagaimana tujuan hukum pada umumnya. Sedangkan dalam lalu lintas
hukum pembuktian khususnya, hal
tersebut diperlukan oleh
karena akta notaris
sebagai akta otentik diharapkan
menjadi alat bukti
kuat yang menentukan
dengan jelas hak dan kewajiban
seseorang dalam suatu perjanjian yang dibuatnya. Hal tersebut semakin menjadi
kebutuhan masyarakat modern
yang senantiasa menghendaki adanya pendokumentasian terhadap
peristiwa/perbuatan hukum yang dilakukannya.
Notaris sebagai sebuah jabatan yang
ditugaskan dan diberi wewenang untuk mewujudkan
tujuan hukum atau
kebutuhan hukum pembuktian
seperti tersebut, memegang peranan
penting sehingga segala
kegiatan ekonomi seperti
di bidang perbankan, pertanahan,
maupun kegiatan sosial
lainnya yang membutuhkan kehadiran jabatan notaris dapat
berjalan sesuai dengan norma-norma atau kaedahkaedah hukum yang berlaku. Sehingga berbagai hubungan atau perbuatan
hukum yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk memberi jaminan dan
kepatian hukum yang dalam sistem hukum hanya dapat dituangkan di dalam akta
notaris, menempatkan notaris sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh
nasihat yang dapat diandalkan dan segala sesuatu yang ditulis serta
ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu
proses hukum.
Berdasarkan uraian di atas memberikan
gambaran bahwa perbedaan batasan usia
dewasa sebagai syarat
agar dapat dikatagorikan
cakap bertindak di
dalam hukum atau dapat
dikatakan sebagai cakap
dalam melakukan perbuatan
hukum, selain berimplikasi dan
membawa konsekuensi yuridis
terhadap sah atau
tidak sahnya seseorang berkedudukan menjadi subyek hukum sebagai
pengemban hak dan kewajiban hukum berikut sah atau tidak sahnya segala
tindakan-tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukannya. Juga berimplikasi
terhadap sah atau tidak sahnya
kedudukan seseorang sebagai
pengahadap/komparan dalam suatu
akta notaris berikut berkonsekuensi yuridis
terhadap kekuatan hukum
dari pada akta notaris sebagai
akta otentik yang dibuatnya. Implikasi
hukum yang dapat timbul dari konflik norma di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, bagaimanakah
pengaturan tentang kecakapan
batasan umur bertindak seseorang
dalam pembuatan akta
notaris yang mengandung
peralihan hak atas tanah?
Kedua,
bagaimana keberadaan atau
kedudukan kecakapan batasan
umur dalam akta notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah?
Dengan kata
lain, perbedaan pengaturan
hukum tentang kedewasaan seseorang dalam berbagai ketentuan
di atas, dapat memicu timbulnya perbedaan persepsi yang
menjadi masalah hukum
terutama dalam praktek
dibuatnya akta notaris yang
pada akhirnya melahirkan
ketidakpastian hukum atau
kurang memberi perlindungan hukum
bagi pihak-pihak yang
memperoleh hak dari perbuatan hukum akta notaris. Padahal
akta notaris sebagai akta otentik berisikan hubungan hukum yang dilakukan dan
sekaligus mengatur antara orang yang satu dengan orang yang lain dan mungkin
antara orang dengan masyarakat, atau antara masyarakat yang
satu dengan yang
lain. Karena dalam
suatu hubungan hukum, para
pihak masing-masing memiliki
hak dan kewajiban
yang diberikan oleh hukum,
yaitu pihak yang
satu berhak menuntut
sesuatu dan pihak
lain wajib memenuhi tuntutan
tersebut dan hak ini berlaku sebaliknya secara timbal balik.
2. 2 Cakap tapi tidak berwenang
Seseorang yang telah cakap menurut
hukum mempunya wewenang bertindak dalam hukum. Tetapi di samping itu UU
menentukan beberapa perbuatan yang tidak berwenang di lakukan oleh orang cakap tertentu.
1. Tidak boleh mengadakan jual beli antar
suami istri (pasal 1467 KUH perdata) disini suami adalah cakap, tapi tidak berwenang menjual apa saja kepada
istrinya.
2. Larangan kepada pejabat umum (hakim,
jaksa, panitera, advocat, juru sita, notaris) untuk menjadi pemilik kareana
penyerahan hak-hak, tuntutan-tuntutan yang
sedang dalam perkara (pasal 1468 KUH Perdata).
3. Apabila hakim terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda dengan
ketua, seorang hakim anggota, jaksa, penasihat hukum, panitera, dalam suatu perkara tertentu ia wajib mengunndurkan diri
dari pemeriksaan perkara itu, begitu pula ketua, hakim anggota, jaksa panitera,
terikat hubungan keluarga dengan yang di
adili ia wajib mengundurkan diri. (pasal 28 UU. No.14/1970).
Contoh kasus :
Dapatkah suatu perjanjian yang di
buat oleh seorang direktur suatu cv yang
masih berusia 18 tahun di minyakan pembatalan ?
Jawaban:
Permintaan pembatalan tersebut dapat
dilakukan, karena KUHPerdata telah mengtur secara jelas tengtang sahnya suatu
perjanjian tersbut terdapat di dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu, “untuk
sahnya suatu perjanjian dilakukan empat syarat, yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Di dalam kasus ini unsur-unsur dari
pasal 1320 tidak dapat di penuhi. Tidak dapat di penuhi yang di maksud adalah
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, bahwa umur seseorang direktur cv
tersebut masih 18 tahun dan di anggap tidak cakap.
Pengertian cakap di maksud terdapat
pada pasal 1330 KUHPerdata yang isinya sebagai berikut :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang sedang di taruh di bawah
pengampuan
3. Perempuan, dalam hal-hal yang di terapkan
dalam UU dan pada umumnya semua orang kepada siapa UU telah melarang membuuat
perjanjian-perjanjian tertentu, di dalam pasal 1320 dan 1330, kita belum
menemukan batasan umur yang di maksud.
Dalam hal ini akan di jawab oleh
pasal 330 KUHPerdata tentang pengertian belum dewasa pada pasal 1330
KUHPerdata, yang berisi sebagai berikut :
pasal 330 KUHPerdata
“belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin”
Ø
Apabila perkawinan itu di bubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Ø
Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk anak-anak.
Jelaslah bahwa perjanjian yang di buat oleh direktur CV tersebut dapat di
batalkan, secara singkat dapat di jelaskan sebagi berikut :
Ø
18 tahun = tidak cakap
Ø
Tidak cakap = belum dewasa
Ø
Belum dewasa = belum mencapai umur genap 21 tahun
2.3 Orang yang tidak cakap dalam
kategori pengampuan
Pengampuan adalah keadaan di mana
seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di
dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena
dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum
memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang
berada dibawah pengampuan.
Pengampuan diatur dalam buku I
KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah
sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata :
“Setiap orang dewasa, yang selalu
berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang
dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”
Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di
atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal
yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian,
orang yang suka berfoya-foya pun dapat dimintakan pengampuan.
Siapa saja yang berhak meminta dan
dapat ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan ? Pasal 434 KUHPerdata
menjelaskan secara tegas bahwasanya Setiap keluarga sedarah berhak minta
pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap.
Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga
sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat
keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus
kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.
Jadi, sesuai dengan ketentuan Pasal
434 KUHPerdata, tidak semua orang dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai
pemegang hak pengampuan. Hukum mensyaratkan hanya orang yang memiliki hubungan
darah saja yang dapat mengajukan dan ditetapkan sebagai pemegang hak
pengampuan. Bahkan terhadap saudara semenda (hubungan persaudaraan karena tali
perkawinan) pun, hukum tetap mengutamakan orang yang memiliki hubungan darah
sebagai pemegang hak pengampuan.
Dalam menetapkan seseorang diletakkan
pengampuan, Pengadilan Negeri terikat dan harus tunduk pada ketentuan
pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 438 KUHPerdata : Bila Pengadilan
Negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna
mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau
semenda.
Pasal 439 KUHPerdata : Pangadilan
Negeri setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam
pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila
orang itu tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di
rumahnya oleh seorang atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu,
disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan.
Bila rumah orang yang dimintakan
pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka
pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan
pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat
berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.
Pemeriksaan tidak akan berlangsung
sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat
permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga
sedarah.
Pasal 440 KUHPerdata : Bila
Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah
atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan,
berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka Pengadilan dapat
memberi keputusantentang surat permintaan itu tanpa tata cara lebih lanjut,
dalam hal yang sebaliknya, Pengadilan Negeri harus memerintahkan pemeriksaan
saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.
Pasal 441 KUHPerdata : Setelah
mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan
Negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan
barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya.
Pasal 442 KUHPerdata : Putusan atas
suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah
mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan
Jaksa
Cakap dalam kategori pendawasaan
Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu
pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu
(terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk
pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk
pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421
dan 426 KUHPerdata).
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya
ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri
dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar
pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya
pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan
status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin
orang tua tetap diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas,
prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti
lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang
bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan
hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus
dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan
dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum
orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam hukum Perdata, belum dewasa
adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang
kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam
keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi
dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus
sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).
Hukum perdata memberikan
pengecualian-pengecualian tentang usia belum dewasa yaitu, sejak berumur 18
tahun seorang yang belum dewasa, melalui pernyataan dewasa, dapat diberikan
wewenang tertentu yang hanya melekat pada orang dewasa. Seorang yang belum
dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa
harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua.
Dari uraian tersebut kita lihat bahwa
seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis
atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya
sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat
memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu
perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.
Bila hakim berpendapat bila seseorang
dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang
diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu, seorang yang belum dewasa,
sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam
acara perdata dengan domisilinya. Bila ia menyalahgunakan wewenang yang
diberikan maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu
dicabut oleh hakim
BAB
III
PENUTUP
1.kesimpulan
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui
(overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran
dinamakan akseptasi (acceptie). , dengan adanya kesepakatan berarti ada
persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang
diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai
kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu
dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam.
UU menentukan bahwa untuk dapat
bertindak dalam hukum, seseorang harus telah cakap dan berwenang. Seseorang
dapat di katakan telah cakap dan berwenang, harus memenuhi syarat-syarat yang
di tentukan oleh UU yatiu telah dewasa, sehat pikiranya (tidak di bawah
pengampuan) sreta tidak bersuami bagi wanita.
Menurut pasal 330 KUH Perdata seseorang telah dewasa apabila telah
berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Mengenai
kedudukan seseorang istri, sejak keluarnya surat ederan Mahkamah Agung No. 3
tahun 1963, tanggal 5 september 1963
mencabut pasal 108 dan 110 KUH Perdata maka
status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak
yang di lakukanya.
2.Daftar pustaka
http://azrulmubarak.blogspot.co.id/2015/04/cakap-bekwaan-dan-berwenang-bovoegd.html
http://masrigunardi.blogspot.co.id/2012/09/kata-sepakat-dalam-perjanjian.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar