BP; 1510111151
Pengantar Hukum Indonesia
DASAR-DASAR HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
1.
Pengertian
Mahkamah
Konstitusi merupakan lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dan pasal 24 C UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
Mahkamah
Konstitusi sebagai bagian atau pelaku kekuasaan kehakiman yang menjalankan
fungsi peradilan, oleh karena itu mempunyai tatacara dan prosedur
beracara yang pelaksanaannya diatur dalam Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi.
Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi merupakan hukum formal yang mempunyai kedudukan dan
peranan penting dalam upaya menegakkan hukum material di peradilan Mahkamah
Konstitusi. Dengan adanya Hukum Acara Mahkamah Konsitusi, maka Mahkamah
Konsitusi mempunyai fungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin
ditaatinya konstitusi oleh lembaga-lembaga Negara maupun oleh warga masyarakat
melalui peradilan konstitusi.
Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
mengatur tata cara orang atau badan pribadi/publik bertindak melaksanakan dan
mempertahankan hak-haknya di Mahkamah Konstitusi; atau dengan kata lain
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang mengatur tata cara
bersengketa di Mahkamah Konstitusi
2.
Sumber Hukum
Sumber
hukum beracara di Makamah Konstitusi antara lain :
a.
Undang-Undang Dasar R.I. Tahun
1945;
b.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi;
c.
Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman);
d.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
03/PMK/2003 Tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi R.I.;
e.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
04/PMK/2004 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu;
f.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
05/PMK/2004 Tentang Prosedur Pengajuan Keberatan atas Penetapan Hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden;
g.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang;
h.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konsitusi
Lembaga Negara;
i.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
14/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD;
j.
Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
15/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Kepala
Daerah; dan Peraturan-peraturan Mahkamah Konstitusi yang berisi tentang tugas
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses beracara di Mahkamah
Konstitusi;
k.
Yurisprudensi;
l.
Doktrin atau pendapat para ahli
hukum terkemuka.
3.
Asas-Asas Hukum Acara
Asas-asas
hukum adalah nilai-nilai moral yang mendasari atau melandasi norma hukum positif,
atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak dari norma hukum positif.
Menurut Bellefroid, asas hukum (rechtsbeginsellen) merupakan norma dasar
yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap
berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan
pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno Mertokusumo, l988
:32)[1].
Asas hukum adalah meta kaidah yang berkenaan dengan kaidah hukum dalam bentuk
kaidah prilaku (Brugink, dalam Arief Sidharta,1996 : 121).[2]
Asas Hukum adalah alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang
mendasari suatu norma hukum (G.W. Paton, 1969 : 204).[3]
Asas-asas
dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi antara lain :
a.
asas independensi hakim (Pasal 2
UUMK);
b.
asas mengadili menurut
hukum/equality before the law (Pasal 5 ayat (1) UUKK);
c.
asas sidang terbuka untuk umum
(Pasal 40 UUMK);
d.
asas praduga rechmatige
(undang-undang yang dilakukan hak uji adalah undang-undang yang sah berlaku);
e.
asas beracara secara tertulis (Pasal
29 UUMK);
f.
asas beracara boleh diwakilkan
(Pasal 29, 43 UUMK);
g.
asas hakim aktif/dominus litis
(Pasal 39, 41 UUMK);;
h.
asas pemeriksaan oleh hakim majelis
( Pasal 28 ayat 1);
i.
asas putusan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum (Pasal 28 ayat (5) UUMK);
j.
asas putusan berkekuatan hukum tetap
dan bersifat final, artinya tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan MK
(Pasal10 ayat 1 jo. pasal 47 UUMK);
k.
asas peradilan sederhana, cepat dan
biaya ringan (Pasal 4 ayat 2 UUKK);
l.
asas putusan hakim mengikat secara erga
omnes, artinya putusan MK tidak hanya mengikat pihak-pihak yang
bersengketa (internparties), tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga
omnes);
m.
asas pembuktian bebas, artinya
pembuktian berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim;
n.
asas sosialisasi putusan hakim,
artinya putusan hakim wajib diumumkan dan dilaporkan kepada masyarakat (Pasal
13 UUMK).
4.
Kekuasaan Mahkamah Konstitusi
Menurut
Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UUMK, kekuasaan Mahkamah Konstitusi
adalah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk :
a.
menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945;
b.
memutus sengketa kewenangan Lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara R.I. Tahun 1945;
c.
memutus pembubaran Partai Politik;
d.
memutus perselisihan tentang hasil
pemilu.
Selain
itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa : (a) pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang; (b) korupsi dan
penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; (c) tindak pidana berat
lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih; (d) perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan/atau; (e) tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 6 UUD Negara R.I. Tahun 1945 (Pasal 10 ayat (2) dan ayat
(3) UUMK).
Untuk
kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUMK, Mahkamah
Konstitusi berwenang memanggil Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan (Pasal 11 UUMK).
5.
Pihak – Pihak Yang Bersengketa
Dalam
bersengketa atau berperkara di Mahkamah Konstitusi, para pihak yang bersengketa
bukan penggugat dan tergugat, tetapi Pemohon dan Termohon. Beracara
di Mahkamah Konstitusi menggunakan istilah “Permohonan” bukan gugatan seperti
dalam Hukum Acara Perdata.
Dalam
proses beracara di Mahkamah Konstitusi, dibedakan antara yang termasuk perkara
”volunter” dan perkara “contentious”. Dalam perkara “volunter”
hanya ada satu pihak yakni pemohon, sedangkan yang termasuk “contentious”
ada dua pihak yakni pemohon dan termohon.
Perkara
“volunter” di Mahkamah Konstitusi berupa perkara :
1)
pengujian undang-undang terhadap UUD
1945;
2)
sengketa kewenangan Lembaga Negara;
3)
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUD Negara R.I.
1945.
Perkara
yang termasuk “contentious” (ada pemohon dan termohon) adalah perkara
tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi berupa pembubaran partai politik,
dan sengketa Pemilihan Umum.
Menurut
Pasal 51 ayat (1) UUMK pihak-pihak yang memenuhi syarat sebagai pemohon adalah
pihak yang hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu :
a)
perorangan warga Negara Indonesia;
b)
kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang;
c)
badan hukum publik atau privat, dan
d)
Lembaga Negara.
6.
Prosedur Beracara
Prosedur
beracara di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
Pertama, Pengajuan Permohonan. Pengajuan permohonan dengan
persyaratan : (a) permohonan diajukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya; (b) permohonan ditandangani oleh pemohon atau kuasanya; (c) uraian
permohonan harus jelas mengenai (misalnya : pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945, atau perselisihan tentang pemilihan umum, pembubaran partai politik);
(d) permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang dimohon dan hak yang
diminta pemohon;
Kedua, Pendaftaran Permohonan dan Penetapan Jadwal Sidang.
Pendaftaran permohonan diajukan kepada panitera MK. Permohonan yang belum
lengkap harus dilengkapi selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak pemberitahuan
kekuranglengkapan berkas permohonan. Permohonan yang lengkap dicatat dalam buku
registrasi MK. Setelah permohonan dicatat dan diberi nomor perkara dalam buku
registrasi perkara, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja, MK menetapkan hari sidang. Penetapan hari sidang pertama harus
diberitahukan kepada para pihak, dan diumumkan kepada masyarakat dengan cara
menempelkan di papan pengumuman yang khusus untuk itu.
Ketiga, Pemeriksaan Pendahuluan. Sebelum hakim memeriksa pokok
perkara, MK mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Apabila berkas permohonan belum lengkap, MK memberi nasehat kepada pemohon
untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari. Apabila berkas permohonan sudah lengkap, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
Keempat, Pemeriksaan di Persidangan. Persidangan MK dilakukan
secara terbuka untuk umum. Dalam persidangan, hakim memeriksa permohonan serta
alat-alat bukti yang diajukan. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim wajib
memanggil para pihak yang berperkara untuk memberikan keterangan yang
diperlukan dan/atau memberikan keterangan secara tertulis kepada Lembaga Negara
yang terkait dengan permohonan. Lembaga Negara yang dimaksud wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permintaan hakim MK diterima. Dalam pemeriksaan di persidangan,
pemohon/termohon boleh didampingi atau diwakili oleh kuasanya.
Kelima, Pembuktian. Menurut pasal 36 UUMK, macam-macam alat bukti
yang digunakan beracara di MK adalah sebagai berikut : (a) surat atau
tulisan; (b) keterangan saksi; (c) keterangan ahli; (d) keterangan para pihak;
(e) petunjuk; dan (f) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau
yang serupa untuk itu.
MK menentukan sah atau tidak sahnya
alat bukti dalam persidangan, dan menilai alat-alat bukti yang diajukan
kepersidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu
dengan alat bukti yang lain. Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi
panggilan MK. Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah
dipanggil secara patut menutut hukum, MK dapat minta bantuan kepolisian
untuk menghadirkan saksi secara paksa (Pasal 38 ayat (4) UUMK).
Keenam, Putusan MK. Mahkamah Konstitusi memberi putusan
berdasarkan kesesuaian alat-alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan harus
didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang bersesuaian. Putusan
wajib memuat fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan pertimbangan hukum
yang menjadi dasar putusan.
Isi
Putusan MK antara lain : (a) permohonan tidak dapat diterima, artinya
permohonan tidak memenuhi syarat formal sebagaimana yang diharuskan oleh
undang-undang (Pasal 56 ayat (1), 64 ayat (1), 77 ayat (1), 83 ayat (1) UUMK);
(b) permohonan ditolak, karena permohonan tidak beralasan atau tidak
berdasarkan hukum, misalnya karena undang-undang yang dimohonkan hak uji tidak
bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 56 ayat (3), atau Presiden tidak terbukti
korupsi (pasal 83 ayat (3) UUMK); (c) permohonan dikabulkan, karena
mempunyai alasan/dasar hukum yang kuat, misalnya undang-undang yang diajukan
hak uji bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 56 ayat (2, 3), atau membatalkan
hasil perhitungan suara oleh KPU, dan membenarkan perhitungan suara oleh
pemohon (Pasal 77 ayat (3) UUMK).
Putusan
MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 47 UUMK) dan bersifat final (Pasal 10 ayat 1 UUMK), artinya putusan
MK langsung mengikat para pihak yang bersengketa sejak diucapkan, sehingga
tidak ada upaya hukum lain (banding, kasasi, peninjauan kembali).
Putusan
MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 wajib
dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 57 ayat (3) UUMK). MK wajib
mengirim salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan. (Pasal 49 UUMK).
DASAR-DASAR HUKUM ACARA PIDANA
1.
Pengertian
Hukum
Acara Pidana merupakan bagian dari Hukum Pidana dalam arti luas yang terdiri
dari hukum pidana material dan hukum pidana formal. Hukum pidana material
mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, siapa
yang melanggar larangan atau keharusan diancam dengan hukuman atau pemidanaan.
Hukum
Acara Pidana juga disebut sebagai Hukum Pidana Formal, adalah keseluruhan
peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara aparatur Negara yang
berwenang (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) melaksanakan dan mepertahankan
hukum pinada material yang dilanggar.
Menurut
van Bemmelen, ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan yang diadakan oleh
negara dalam hal adanya persangkaan dilanggarnya hukum pidana. (Achmad S. Soema
Dipradja,1977 : 3).[1]
2.
Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi
hukum acara pidana menurut van Bemmelen, antara lain :
Pertama, mencari dan menemukan kebenaran karena adanya persangkaan
atau dugaan dilanggarnya undang-undang hukum pidana.
Kedua,
diusahakan diusutnya pelaku tindak
pidana (dilakukan penyidikan).
Ketiga, diupayakan tindakan agar pelaku tindak pidana ditangkap dan
ditahan.
Keempat, mengumpulkan barang-barang bukti dari hasil penyidikan
untuk mendukung kebenaran dan tuntutan terhadap terdakwa dalam pemeriksaan di
pengadilan.
Kelima, menyerahkan pelaku kepada pengadilan untuk diperiksa dan
dijatuhkan putusan pidana.
Keenam, menentukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan.
Ketujuh, melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi). Apabila
disimpulkan, maka fungsi hukum acara pidana ada 3 (tiga) yakni : (1) mencari
dan menemukan kebenaran; (2) mengadili dan menjatuhkan putusan kepada terdakwa,
dan (3) melaksanakan putusan (eksekusi) pengadilan terhadap
terdakwa.
3.
Sumber Hukum
a.
Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945
b.
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)
c.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP);
d.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara;
e.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang
Kekuasaan Kehakiman);
f.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, dan
Undang-undang No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
g.
Undang-Undang No. 49 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum (Perubahan dari Undang-undang No. 8 tahun 2004, dan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum);
h.
Undang-Undang No. 16 Tahun
2004 Tentang Kejaksaan;
i.
Jurisprudensi;
j.
Doktrin atau pendapat para ahli
hukum.
4.
Asas-Asas Hukum
Asas-Asas
Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :
a.
asas peradilan berdasarkan
undang-undang (asas legalitas) ;
b.
asas setiap orang diperlakukan sama
di muka hukum (asas equality before the law);
c.
asas praduga tidak bersalah (asas
presumption of innoncence);
d.
asas tersangka/terdakwa sebagai
subyek pemeriksaan (asas accusatoir) ;
e.
asas peradilan bersifat sederhana,
cepat dan biaya ringan;
f.
asas tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum;
g.
asas pemeriksaan pengadilan terbuka
untuk umum;
h.
asas pengadilan memeriksa perkara
dengan hadirnya terdakwa (tidak mengenal asas in absentia);
i.
asas pemeriksaan perkara oleh hakim
majelis;
j.
asas beracara secara lisan (terdakwa
dan saksi berbicara langsung dengan hakim);
k.
asas putusan pengadilan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum; l. asas putusan disertai alasan-alasan yang
sah menurut hukum;
l.
asas pengawasan pelaksanaan
putusan oleh pengadilan;
m.
asas jaksa sebagai eksekutor putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5.
Sifat Hukum Acara Pidana
Karena
tujuan hukum pidana (material) melindungi kepentingan umum, maka Negara melalui
aparatur penegak/pelaksana hukum pidana (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan)
berkewajiban untuk melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material yang
dilanggar oleh siapapun. Apabila ada pelanggaran terhadap hukum pidana
(material), maka aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan/kehakiman tanpa
diminta oleh korban kejahatan, harus sanggup melaksanakan tugas kewajibannya
untuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan, penuntutan, mengadili
dan mengeksekusi pelaku kejahatan. Dengan demikian berarti hukum acara
pidana adalah bersifat memaksa (dwangenrecht).
6.
Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa
Tersangka
dan Terdakwa mempunyai hak-hak sebagai berikut :
a.
hak segera diperiksa dan diadili
(Pasal 50 KUHAP);
b.
hak untuk mengetahui dengan jelas
tentang yang disangkakan atau didakwakan (Pasal 51 KUHAP);
c.
hak untuk memberikan keterangan
secara bebas (Pasal 52 KUHAP);
d.
hak mendapat juru bahasa (Pasal 53
ayat (1) KUHAP);
e.
hak mendapat bantuan hukum pada
setiap tingkatan pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP);
f.
hak untuk mendapat nasehat hukum
dari penasehat hukum secara cuma-cuma bagi terdakwa hukuman mati (Pasal 56
KUHAP);
g.
hak untuk menghubungi dan berbicara
dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2) KUHAP);
h.
hak untuk menghubungi dokter bagi
tersangka/terdakwa yang ditahan (Pasal 58 KUHAP);
i.
hak untuk diberitahukan kepada
keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa (Pasal 59-61
KUHAP);
j.
hak untuk dikunjungi sanak
keluarganya guna kepentingan pekerjaan/keluarga (Pasal 61 KUHAP);
k.
hak untuk berhubungan surat menyurat
(Pasal 62 KUHAP);
l.
hak untuk menghubungi dan dikunjungi
rokhaniawan (Pasal 63 KUHAP);
m.
hak mengajukan saksi ahli/saksi a
decharge (Pasal 65 KUHAP);
n.
hak tidak dibebani pembuktian (Pasal
66 KUHAP);
o.
hak mengajukan upaya hukum (Pasal 67
KUHAP);
p.
hak menuntut ganti rugi/rehabilitasi
(Pasal 68 KUHAP);
q.
hak untuk mendapat salinan berita
acara pemeriksaan (Pasal 72 KUHAP);
7.
Sistem Pemeriksaan
Ada
dua macam sistem pemeriksaan dalam ilmu hukum acara pidana, yaitu :
Pertama, “sistem inquisitoir”. Sistem inquisitoir
menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan oleh aparat penegak hukum
(penyidik, penuntut umum). Dalam sistem inquisitoir, pemeriksaan dilakukan
dengan keras untuk memperoleh pengakuan bersalah dari tersangka atau terdakwa
yang akan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Pada pemeriksaan sistem
inquisitoir, tersangka tidak boleh didampingi oleh pembela atau penasehat
hukum.
Pemeriksaan sistem inquisitoir
dimulai sejak abad 13 dan diakhiri awal abad 19, dan sekarang sudah
ditinggalkan.
Kedua, “sistem accusatoir”, tersangka atau terdakwa
diperlakukan sebagai subyek yang memperoleh hak untuk berdebat dan berpendapat
dengan pihak penyidik dan/atau penuntut umum, atau hakim pemeriksa perkara di
persidangan sehingga masing-masing pihak mempunyai hak dan kedudukan yang sama
di dalam pemeriksaan untuk mencari kebenaran material. Dalam sistem
accusatoir, hakim bertindak sebagai wasit yang tidak memihak. Hakim berperan
aktif apabila para pihak (Jaksa Penuntut Umum, terdakwa, dan/atau penasehat
hukum) saling beragumentasi untuk memperkuat fakta-fakta dengan alat-alat bukti
yang diajukan oleh para pihak. Menurut KUHAP pemeriksaan terhadap tersangka
atau terdakwa menggunakan pemeriksaan dengan sistem“ accusatoir”.
8.
Subyek-subyek dalam Hukum Acara
Pidana
Subyek-subyek
hukum dalam hukum acara pidan antara lain :
a.
Penyelidik dan penyidik
(kepolisian);
b.
Penuntut umum (kejaksaan);
c.
Hakim (pengadilan);
d.
Tersangka/terdakwa yang diperiksa;
e.
Penasehat hukum/pembela;
f.
Panitera sidang;
g.
Eksekutor putusan Pengadilan
(kejaksaan).
9.
Tahapan beracara pidana
Berdasarkan
kewenangan aparat penegak hukum pidana, ada beberapa tahapan antara lain :
a.
penyelidikan dan penyidikan oleh
Kepolisian Negara RI;
b.
penuntutan oleh Jaksa Penuntut umum;
c.
pemeriksaan terdakwa oleh hakim
persidangan;
d.
pelaksanaan (eksekusi)
putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum.
10. Alat-alat bukti
Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Adapun
macam-macam alat bukti menurut pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut : (a)
keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk, dan (e)
keterangan terdakwa. Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan.
Pengantar Hukum Indonesia (Bab XX)
DASAR-DASAR
HUKUM ACARA PERDATA
1.
Pengertian
Hukum
Acara perdata merupakan bagian dari hukum perdata dalam arti luas yang terdiri
dari hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata
material lebih dikenal dengan sebutan “hukum perdata” adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antar
perorangan yang satu dengan perorangan yang lain, atau hubungan hukum yang
mengatur kepentingan pribadi atau individu.
Hukum
Acara Perdata juga dinamakan Hukum Perdata Formal yang berfungsi mempertahankan
dan melaksanakan hukum perdata material apabila dilanggar. Hukum Acara Perdata
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara seseorang
atau badan pribadi mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di
peradilan perdata. Dengan kata lain hukum acara perdata adalah hukum yang
mengatur tata cara bersengketa di peradilan perdata.
2.
Sumber Hukum
a.
Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945;
b.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman;
c.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung;
d.
Undang-Undang No. 49 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum;
e.
Het Herziene Indonesische Reglement
(HIR/RIB) untuk Jawa dan Madura;
f.
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg.
atau Reglement) untuk luar Jawa dan Madura;
g.
Reglement op de Burgerlijke
rechtsvordering (Rv. Reglement/Hukum Acara Perdata) untuk golongan
Eropa;
h.
Jurisprudensi;
i.
Praktek hukum sehari-hari sebagai hukum
kebiasaan;
j.
Doktrin atau pendapat para ahli
hukum.
3.
Asas-Asas Hukum.
Asas-Asas
Hukum Acara Perdata, antara lain :
a.
hakim bersifat menunggu, artinya
dalam proses hukum acara perdata kehendak atau inisiatif gugatan
diserahkan kepada para pihak yang berkepentingan (berperkara). Apabila tidak
ada gugatan ke pengadilan, hakim tidak berwenang mengadili. Istilahnya tidak
ada gugatan tidak ada hakim (wo kein klager ist, ist kein richter/nemo judex
sine actore);
b.
hakim aktif, artinya sejak
awal sampai akhir persidangan hakim harus aktif memberi nasehat dan bantuan
kepada para pihak yang berperkara tentang cara memasukkan gugatan (Pasal 119,
195 HIR/Pasal143 Rbg); hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara
(Pasal 130 HIR); hakim wajib memberi nasehat kepada para pihak untuk melakukan
upaya hukum dan memberikan keterangan yang diperbolehkan (Pasal 132 HIR).
Hakim tetap terikat pada kasus yang diajukan para pihak (secundum allegata
iudicare). Beracara menurut Rechtsvordering (Rv), hakim bersifat pasif;
c.
sidang bersifat terbuka, artinya
pemeriksaan perkara di pengadilan bersifat terbuka untuk umum (openbaar),
setiap orang boleh hadir dalam pemeriksaan perkara di persidangan (Pasal 179
ayat (1) HIR);
d.
persamaan hak di muka hukum (equality
before the law), artinya semua orang mempunyai kedudukan yang sama
di muka hukum, hakim harus bertindak adil, karena itu tidak boleh memihak salah
satu pihak yang bersengketa;
e.
tidak harus diwakilkan, artinya
berperkara di pengadilan tidak harus diwakilkan/dikuasakan. Akan tetapi
para pihak dapat juga diwakili oleh kuasanya kalau dikehendaki (Pasal 123
HIR/Pasal 147 Rbg.);
f.
beracara dengan lisan (mondelinge
procedure), artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan dengan
tanya jawab antara hakim dengan para pihak maupun dengan saksi. Selain itu para
pihak diperbolehkan menyampaikan dengan surat-surat atau tulisan (Pasal 121
ayat (2) HIR/RIB);
g.
beracara secara langsung, artinya
pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan secara langsung (onmiddellijk
heid van procedure), hakim berhadapan, berbicara, mendengar
keterangan dari para pihak yang berperkara maupun dengan saksi di persidangan.
Asas ini dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau kedua
pihak harus didengar;
h.
beracara dikenai biaya, artinya
berperkara di pengadilan harus membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat
(4), 182, 183 HIR/Pasal 145 ayat (4), 192-194 Rbg. jo Pasal 5 ayat (2) UUKK);
i.
hakim harus berusaha mendamaikan,
artinya sebelum acara pemeriksaan perkara dimulai, hakim lebih dahulu
harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/ Pasal 154
Rbg. jo Pasal 16 ayat (2) UUKK).
j.
putusan hakim harus disertai
alasan-alasan hukum, artinya setiap putusan pengadilan harus disertai
alasan-alasan hukum sebagai dasar putusan mengadili (Pasal 184 ayat (1) HIR,
Pasal 195 ayat (1) Rbg. jo Pasal 19 ayat (4) UUKK);
k.
hakim terikat pada alat bukti,
artinya hanya boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan alat-alat bukti yang
sah atau yang ditentukan dalam undang-undang.
4.
Proses Gugatan
Proses
berperkara perdata di peradilan umum, meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi dan terakhir berpuncak di Mahkamah Agung untuk upaya kasasi dan
peninjauan kembali, serta hak uji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang.
Proses
gugatan perkara perdata diajukan ke Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan
Negeri yang berwenang, dengan tahapan sebagai berikut :
Pertama,
pengajuan gugatan. Surat gugatan/permohonan yang
telah dibuat dan ditanda tangani penggugat/pemohon disampaikan kepada Panitera Pengadilan
Negeri setempat yang berkompetensi memeriksa perkara gugatan. Pengadilan Negeri
yang berwenang sebagaimana dimaksud diatur dalam pasal 118 HIR/ Pasal 142
Rbg. jo. Pasal 20 s/d. 23 P.P. No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai
berikut:
a)
gugatan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri tempat kediaman tergugat (Pasal 118 ayat (1) HIR).
b)
apabila tergugat terdiri lebih dari
seorang yang tempat tinggalnya berbeda, maka gugatan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat yang diketahui secara jelas,
demikian pula apabila yang digugat orang yang berutang, gugatan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat tinggal tergugat yang berutang
(Pasal 118 ayat (2) HIR).
c)
apabila tempat tinggal tergugat
tidak diketahui, atau yang digugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat tinggal penggugat atau
salah seorang dari penggugat, apabila yang digugat adalah barang tetap (tidak
bergerak) maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
mewilayahi tempat barang tetap berada (Pasal 118 ayat (3) HIR).
d)
apabila ada tempat tinggal yang
dipilih/ditunjuk dengan akta, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri
yang ditunjuk oleh akta yang bersangkutan (Pasal 118 ayat (4) HIR).
Untuk
gugatan perkawinan dan perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 maka gugatan ditentukan sebagai berikut :
a)
apabila menyangkut pembatalan
perkawinan, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (bagi yang tidak
beragama Islam), atau Ketua Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilaksanakan, atau di tempat tinggal
suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 jo Pasal 63 ayat (1) UUP jo Pasal 38
ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
b)
gugatan perceraian di ajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri/Agama di tempat kediaman tergugat. Apabila tempat
kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat
kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No.
9 Tahun 1975).
c)
apabila yang digugat berada di luar
negeri, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat
kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan gugatan kepada
tergugat melalui perwakilan Negara R.I. (Pasal 20 ayat (3) P.P. No. 9 Tahun
1975).
d)
terhadap gugatan perceraian dengan
alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah, gugatan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat (1)
P.P.No. 9 Tahun 1975).
e)
gugatan perceraian karena alasan
suami-isteri terus menerus berselisih dan bertengkar, gugatan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman tergugat (Pasal 22 ayat (1)
P.P.No. 9 Tahun 1975).
f)
gugatan perceraian karena alasan
salah seorang dari suami atau isteri dihukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti di persidangan penggugat cukup
menyampaikan salinan putusan dari pengadilan yang memutus perkara pidana,
disertai keterangan bahwa putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (Pasal 23 P.P. No. 9 Tahun 1975).
Kedua, membayar biaya perkara. Pasal 121 ayat (4)/Pasal
145 ayat (4) Rbg menentukan bahwa, syarat agar gugatan/permohonan dapat
diterima dan didaftar dalam register perkara, bilamana penggugat/pemohon
telah membayar uang muka atau “panjar” biaya perkara. Dalam hal ini calon
penggugat/pemohon membayar biaya perkara di kasir dengan menyerahkan surat
gugatan/permohonan.
Ketiga, pendaftaran perkara gugatan/permohonan. Setelah
membayar biaya perkara di kasir, penggugat/pemohon mendaftarkan
gugatan/permohonan ke petugas pendaftaran di kepaniteraan pengadilan yang
bersangkutan dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan untuk diberi
nomor perkara dan didaftar dalam buku register perkara.
Keempat, Penetapan Majelis Hakim. Selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah Ketua Pengadilan menerima surat gugatan/permohonan dari
penggugat/pemohon melalui panitera, Ketua Pengadilan menunjuk/menetapkan
Majelis Hakim untuk memeriksa perkara di persidangan (Pasal 121 HIR). Dalam hal
ini Ketua Pengadilan memberikan semua berkas perkara kepada Majelis Hakim untuk
diperiksa di persidangan.
Kelima, penunjukan panitera sidang. Untuk membantu Majelis
Hakim di persidangan, ditunjuk seorang panitera/panitera pengganti sebagai
panitera sidang yang bertugas mencatat jalannya persidangan.
Keenam, penetapan hari sidang. Setelah menerima berkas
perkara dari Ketua Pengadilan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari, tanggal dan
jam pemeriksaan perkara atau persidangan. Dalam hal ini Ketua Majelis Hakim
memerintahkan panitera untuk memanggil para pihak yang berperkara agar hadir
pada hari, tanggal dan jam persidangan yang telah ditetapkan.
Ketujuh, pemanggilan para pihak. Berdasarkan perintah Ketua
Majelis Hakim, panitera/panitera pengganti melakukan pemanggilan kepada para
pihak yang berperkara agar hadir dipersidangan pada hari, tanggal dan jam yang
telah ditetapkan (Pasal122 HIR).
5.
Pemeriksaan Di Persidangan.
Pada
hari sidang pertama yang telah ditetapkan oleh pengadilan, para pihak
penggugat/pemohon, dan tergugat/termohon dipanggil agar hadir di persidangan. Dalam
sidang pertama ini akan diketemukan beberapa kemungkinan, yaitu :
a)
Penggugat/pemohon dan
tergugat/termohon tidak hadir dalam sidang. Apabila kedua pihak tidak hadir
dalam persidangan, majelis hakim dapat melakukan penundaan sidang dan memerintahkan
panitera agar memanggil kedua pihak hadir dalam persidangan berikutnya, atau
hakim menjatuhkan putusan gugur dan perkara tidak diperiksa;
b)
Penggugat tidak hadir, tetapi
tergugat hadir. Bilamana penggugat atau wakilnya. tidak hadir, sedang tergugat
hadir, maka hakim memerintahkan supaya penggugat yang tidak datang dipanggil
sekali lagi (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rv.). Apabila penggugat telah
dipanggil dengan patut tidak hadir lagi, sedangkan tergugat hadir, maka gugatan
penggugat dinyatakan gugur dan penggugat dihukum membayar biaya perkara.
Penggugat masih diberi kesempatan mengajukan gugatannya sekali lagi setelah
membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 Rbg.);
c)
Tergugat tidak hadir, tetapi
penggugat hadir. Dalam hal tergugat tidak hadir, sedangkan penggugat hadir,
maka hakim dapat menunda persidangan, dan tergugat dipanggil sekali lagi agar
hadir pada sidang berikutnya (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rbg). Apabila pada sidang
berikutnya, tergugat tidak hadir lagi, maka gugatan penggugat dikabulkan dengan
putusan di luar hadirnya tergugat (verstek), kecuali apabila gugatan
mengenai perbuatan melawan hukum atau tidak beralasan. Putusan verstek
dapat dijatuhkan pada sidang pertama ketika tergugat tidak hadir (Pasal 125 HIR/149
Rbg.).
Apabila
pada sidang pertama tergugat hadir, sedangkan pada sidang berikutnya tidak
hadir, maka perkaranya diperiksa secara “contradictoir” (di luar
hadirnya salah satu pihak yang berperkara). Demikian pula jika pada sidang
berikutnya tergugat hadir, tetapi penggugat tidak hadir, maka perkaranya
diperiksa di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara (contradictoir).
Terhadap
putusan verstek dapat diajukan tuntutan perlawanan (verzet). Perlawanan
(verzet) dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129
HIR/ Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rbg.). Apabila dalam acara perlawanan (verzet),
penggugat tidak hadir, maka perkara diperiksa secara “contradictoir”.
Kalau tergugat tidak hadir dalam acara perlawanan (verzet), maka
hakim memutus “verstek”, yang mana tuntutan perlawanan (verzet)
tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard - Pasal 129 ayat (5)
HIR/ Pasal 153 ayat (6) Rbg.).
d)
Penggugat dan tergugat hadir di
persidangan. Apabila kedua pihak (penggugat/tergugat) hadir
dipersidangan, maka sebelum pemeriksaan perkara dimulai, hakim harus berusaha
mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg. jo. Pasal
16 ayat (2) U.U No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Apabila
perdamaian berhasil disepakati para pihak, maka dibuatlah akta perdamaian (acta
van vergelijk) yang isinya menghukum para pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Putusan perdamaian
mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan-putusan biasa yang dapat
dilakukan “eksekusi” seperti putusan hakim lainnya. Putusan akta
perdamaian (acta van vergelijk) ini tidak dapat diajukan perlawanan
(banding, kasasi maupun peninjauan kembali). Dengan adanya putusan akta
perdamaian (acta van vergelijk) berarti gugatan tidak dapat diteruskan
atau tidak dapat diajukan gugatan baru. Putusan akta perdamaian yang dapat
dieksekusi adalah yang berkenaan dengan sengketa kebendaan saja. Usaha
perdamaian terbuka selama pemeriksaan perkara berlangsung. Dengan adanya usaha
perdamaian, ini menunjukkan bahwa hakim berperan aktif dalam hukum acara
perdata.
Apabila antara kedua pihak yang
berperkara tidak dapat didamaikan oleh hakim, maka pemeriksaan perkara
dilanjutkan dengan acara :
Pertama, pembacaan gugatan. Pada tahap pembacaan gugatan, terdapat
beberapa kemungkinan antara lain : (a) penggugat mencabut gugatan; (b)
penggugat mengubah gugatan; (c) penggugat mempertahankan gugatan.
Apabila
penggugat mempertahankan gugatannya, maka sidang dilanjutkan dengan “jawaban
tergugat”.
Kedua, jawaban tergugat. Pada tahap ini tergugat diberi kesempatan
untuk membela diri mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya/kepentingannya
terhadap gugatan penggugat. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan “eksepsi”
atau tangkisan, mengakui atau menerima gugatan sepenuhnya atau sebagian,
mengaku dengan persyaratan (clausula) tertentu, atau membantah
sepenuhnya, menjawab dengan berbagai cara (referte) sehingga pemeriksaan
perkara tetap dilanjutkan, dan/atau menjawab dengan gugatan balik (reconvensi).
Ketiga, replik penggugat. Setelah tergugat menyampaikan jawaban,
kemudian hakim memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban
tergugat yang sesuai dengan pendapatnya. Dalam replik, penggugat dapat
mempertahankan haknya atau gugatannya dan menambah kekurangan yang dianggap
perlu dengan memperjelas alasan-alasan hukum dan dalil-dalilnya, atau penggugat
berubah sikap membenarkan sebagian atau keseluruhan jawaban/bantahan tergugat.
Keempat,
duplik tergugat. Setelah penggugat
menyampaikan jawabannya (replik), kemudian tergugat oleh hakim diberi
kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Dalam acara duplik ini, tergugat
dapat menolak atau menerima sebagian atau keseluruhan jawaban atau replik yang
dikemukakan oleh tergugat . Dalam acara jawab menjawab antara penggugat dan
tergugat (replik-duplik) dapat dilakukan secara berulang-ulang (rereplik-reduplik)
sampai ada kesepakatan di antara para pihak, dan/atau sampai dianggap cukup
oleh hakim.
Jika
dalam acara replik-duplik atau rereplik-reduplik masih ada hal-hal yang belum
disepakati oleh kedua pihak, maka kedua pihak perlu memperkuat
dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti yang sah dalam tahap pembuktian.
Kelima, pembuktian. Pada tahap pembuktian, pihak penggugat/pemohon
dan pihak tergugat/termohon diberi kesempatan memperkuat atau mendukung
dalil-dalilnya dengan menyampaikan alat-alat bukti secara bergantian kepada
majelis hakim dipersidangan.
Macam-macam
alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164
HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 B.W. yaitu : (a) bukti tertulis atau surat; (b)
bukti saksi; (c) bukti persangkaan; (d) bukti pengakuan; (e) bukti sumpah.
Keenam, tahap kesimpulan. Pada tahap ini masing-masing pihak yaitu
penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
akhir secara tertulis atau lisan sebagai kesimpulan tentang hasil
pemeriksaan selama persidangan.
Ketujuh, putusan hakim. Pada tahap ini Majelis Hakim menyampaikan
pendapatnya atau pandangan hukum tentang perkara yang diperiksa
selama persidangan disertai alasan-alasan atau dasar-dasar hukum,
dan diakhiri dengan putusan hakim/pengadilan. Putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum (pasal 1917 B.W./Pasal 20 UUKK).
Dalam
hukum acara perdata putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau
mengikat disebut “gezag van gewijsde” atau “kracht van gewijsde”
apabila tidak ada upaya hukum biasa, yaitu verzet, banding atau kasasi.
Siapapun tidak dapat mengubah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, termasuk oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan
upaya hukum luar biasa atau khusus, yaitu peninjauan kembali (request civil))
dan perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet) (Pasal 1917 B.W /Pasal
378-379 Rv).
Terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dimintakan banding
kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali
undang-undang menentukan lain (Pasal 21 ayat (1) UUKK). Permohonan banding
disampaikan oleh pemohon dengan surat/tertulis atau dengan lisan kepada
Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam batas waktu 14 (empat
belas) hari sejak putusan diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan atau
pemohon (Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947/Pasal 199 Rbg.).
Terhadap
putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) dapat dimintakan kasasi
kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang
menentukan lain (Pasal 22 UUKK jo.Pasal 28 ayat (1) UUMA).
Permohonan
kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan
upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan
kasasi hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 43 UUMA). Permohonan kasasi dalam
perkara perdata disampaikan secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama (Pengadilan Negeri) yang memutus perkaranya dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan
diberitahukan kepada pemohon (Pasal 46 UUMA).
Terhadap
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang berperkara
dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu atau bukti baru (novum) yang ditentukan dalam
undang-undang, termasuk apabila terdapat kekhilafan hakim dalam
menerapkan hukum (Pasal 23 ayat (1) UUKK jo Pasal 28 ayat (1) UUMA).
Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali
(Pasal 23 ayat (2) UUKK). Peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali
(Pasal 66 ayat (1) UUMA). Permohonan peninjauan kembali disampaikan
melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama
dengan membayar biaya perkara yang telah ditentukan.
Mahkamah
Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir
(Pasal 70 ayat (2) UUMA). Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan
kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan hakim memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara; atau
sejak ditemukan bukti baru (novum) yang dinyatakan di bawah sumpah serta
disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UUMA).
DASAR-DASAR HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA
1.
Pengertian
Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara
(Hukum Administrasi Negara) dalam arti luas, yang terdiri dari Hukum Tata Usaha
Negara material dan Hukum Tata Usaha Negara formal.
Hukum
Tata Usaha Formal yang juga disebut Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang melaksanakan dan
mempertahankan hukum Tata Usaha Negara material. Dengan kata lain, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum
yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi atau publik bertindak untuk
melaksanakan dan mempertahankan hak-haknya di Peradilan Tata Usaha Negara.
Secara singkat, hukum peradilan tata usaha negara merupakan hukum yang mengatur
tentang tatacara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Adapun
Hukum Tata Usaha Negara material adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum
yang mengatur hubungan hukum antara warga masyarakat dengan pejabat atau
badan tata usaha negara dalam kewenangannya menjalankan tugas pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat.
Peradilan
Tata Usaha Negara adalah peradilan yang bertugas memeriksa atau mengadili atau
memutus sengketa tata usaha negara antara orang perorangan atau badan perdata
dengan pejabat atau badan tata usaha negara.
2.
Sumber Hukum
Sumber
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara antara lain :
a.
Undang-Undang Dasar Negara R.I.
Tahun 1945;
b.
Undang-Undang No. 51 tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah menjadi Undang-Undang
No. 9 Tahun 2004);
c.
Undang- Undang No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Udangn No 35 Tahun 1999, serta
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman.);
d.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No 14 Tahun 1985,
dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung);
e.
Yurisprudensi;
f.
Praktek Administrasi Negara sebagai
hukum kebiasaan;
g.
Doktrin atau pendapat para ahli
hukum.
3.
Asas Asas Hukum
Asas-asas
hukum adalah nilai-nilai moral yang mendasari atau memberi landasan norma
hukum positif, atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak dari norma
hukum positif. Asas-asas hukum merupakan nilai-nilai moral atau
pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak sebagai petunjuk arah bagi
pembentukan dan berlakunya hukum positip. Menurut Bellefroid, asas hukum (rechtsbeginsellen)
merupakan norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif, dan yang oleh ilmu
hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas
hukum umum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno
Mertokusumo, 1988 : 32).[1]
Asas hukum adalah meta kaidah yang berkenaan dengan kaidah hukum
dalam bentuk kaidah perilaku (Bruggink, dalam Arief Sidharta, 1996 : 121).[2]
Asas hukum adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas yang mendasari
suatu norma hukum (G.W. Paton, 1969 : 204).[3]
Asas-asas
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, antara lain :
a.
asas independensi hakim (bertindak
adil dan tidak memihak);
b.
asas equality before the law (asas
persamaan hak di muka hukum);
c.
asas sidang terbuka untuk umum;
d.
asas diperiksa hakim majelis;
e.
asas sederhana, cepat, dan biaya
ringan;
f.
asas hakim bersifat menunggu,
inisiatif gugatan dari penggugat;
g.
asas beracara secara tertulis;
h.
asas berperkara membayar biaya
perkara;
i.
asas beracara dapat diwakilkan;
j.
asas hakim aktif dalam proses
pemeriksaan di persidangan;
k.
asas gugatan ke PTUN tidak menunda
pelaksanaan putusan TUN;
l.
asas tidak dikenal adanya gugatan
balik (reconvensi);
m.
asas putusan diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum;
n.
asas putusan harus disertai
alasan-alasan hukum.
4.
Kekuasaan Peradilan Tata Usaha
Negara
Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang kemudian diubah lagi dengan
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),
ditentukan bahwa peradilan bertugas dan berwenang, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan “sengketa Tata Usaha Negara” adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 1 angka 10 UU. No. 51 Tahun 2009 (UUPTUN).
Dari uraian Pasal 1 angka 10 tersebut, bahwa dalam sengketa
Tata Usaha Negara terkandung unsur-unsur sebagai berikut : (1) sengketa yang
timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, artinya sengketa mengenai perbedaan
penerapan dalam bidang Tata Usaha Negara; (2) sengketa antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian sengketa
Tata Usaha Negara bukan sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan
orang atau badan hukum perdata. Juga bukan sengketa antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; (3)
sengketa yang dimaksud adalah akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara ada hubungan sebab akibat, karena itu tidak akan terjadi sengketa
Tata Usaha Negara tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
5.
Keputusan Tata Usaha Negara
Sengketa
Tata Usaha Negara merupakan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara. Keputusan Tata Usaha Negara adalah “suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata” (Pasal 1 angka 9 UU. No. 51
Tahun 2009 ( UUPTUN).
Dari
ketentuan Pasal 1 angka 9 UUPTUN dapat diketahui, bahwa dalam
Keputusan Tata Usaha Negara terdapat unsur-unsur : (1)
adanya penetapan tertulis yang menimbulkan hak dan kewajiban; (2) dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan menyelenggarakan tugas pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah; (3) berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan akibat hukum terhadap hak dan kewajiban pada orang lain/badan hukum
perdata; (4) Keputusan bersifat konkret, artinya keputusan Tata Usaha
Negara dapat diwujudkan, dapat ditentukan/tertentu, tidak abststrak; (5)
bersifat individual, artinya keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan
kepada masyarakat umum tetapi ditujukan kepada orang pribadi atau badan hukum
perdata tertentu; (6) bersifat final, artinya keputusan sudah devinitip atau
tetap dan menimbulkan akibat hukum, sehingga ketetapan tidak memerlukan
persetujuan dari pihak lain atau pejabat atasan.
Dikecualikan
terhadap Keputusan Tata Usaha Negara dalam bentuk tertulis, adalah apabila
Badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan putusan yang menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara
(Pasal 3 UU. No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah menjadi UU No. 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN).
6.
Tidak Termasuk Keputusan Tata Usaha
Negara
Menurut
Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ada beberapa macam keputusan
yang tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara yaitu : (1) Keputusan TUN yang
merupakan perbuatan hukum perdata; 2) Keputusan TUN yang merupakan pengaturan
yang bersifat umum; (3) Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan; (4)
Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan/atau KUHAP atau
ketentuan perundang-undangan lainnya yang bersifat hukum pidana; (5)
Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (6) Keputusan
TUN mengenai tata usaha TNI; (7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum di pusat
maupun di daerah, mengenai hasil pemilu.
7.
Pihak-Pihak Yang Bersengketa
Pihak-pihak
yang berperkara atau bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :
Pertama, penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan secara tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1) UU PTUN).
Kedua,
tergugat adalah Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan yang berdasarkan wewenang
yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Ketiga, pihak Ketiga (pengintervensi) adalah keikutsertaan pihak
ketiga dalam perkara/sengketa di peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal
83 UU PTUN.
8.
Alasan atau Dasar Gugatan.
Alasan yang dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan terhadap keputusan TUN,
menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN adalah sebagai berikut :
Pertama, keputusan yang digugat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, misalnya : (a) bertentangan dengan
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat formal atau
prosedural, (b) bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang bersifat material atau substantial, (c) keputusan
dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang tidak berwenang.
Kedua, keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas
pemerintahan yang layak. Asas-asas pemerintahan yang layak menurut
Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari KKN adalah (a) asas kepastian hukum, (b) asas
tertib dalam penyelenggaraan Negara, (c) asas kepentingan umum, (d) asas
keterbukaan, (e) asas proporsionalitas, (f) asas profesionalitas, dan (g) asas
akuntabilitas. Menurut Koentjoro Purbopranoto (1975: hlm. 29-30),
asas-asas pemerintahan yang baik (asas-asas tidak tertulis) adalah
(a) asas kepastian hukum, (b) asas keseimbangan, (c) asas kesamaan dalam
mengambil keputusan, (d) asas bertindak cermat, (e) asas motivasi untuk setiap
keputusan, (f) asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan, (g) asas permainan
yang layak (principle of fair play), (h) asas keadilan atau kewajaran,
(i) asas menanggapi pengharapan yang wajar, (j) asas meniadakan
akibat-akibat dari keputusan yang batal, (k) asas perlindungan atas
pandangan hidup, (l) asas kebijaksanaan, (m) asas penyelenggaraan kepentingan
umum.[4]
9.
Alat Bukti
Macam-macam
alat-alat bukti yang dipergunakan dalam proses beracara di peradilan Tata Usaha
Negara menurut Pasal 100 UU PTUN antara lain : (a) surat atau tulisan; (b)
keterangan ahli; (c) keterangan saksi; (d) pengakuan para pihak; (d)
pengetahuan hakim. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu
dibuktikan.
10. Keputusan Pengadilan
Keputusan
pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu
pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu keputusan diucapkan,
salinan putusan harus disampaikan dengan surat tercatat kepada yang
bersangkutan. Keputusan pengadilan harus ditanda tangani oleh Hakim/Ketua dan
anggota Majelis Hakim dan Panitera sidang. Hanya putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan. Salinan putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari harus dikirim kepada para pihak oleh Panitera dengan surat tercatat
(Pasal 116 UU PTUN). Ketua Pengadilan TUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 119 P TUN).