Rabu, 23 Desember 2015

makalah Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Menurut UUD 1945  Serta Wujud Nyatanya dalam Kehidupan Sehari-hari

Abstrak
Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Menurut UUD 1945  Serta Wujud Nyatanya dalam Kehidupan Sehari-hari
Jefri Syahril
1510111151
Fakultas Hukum
     Banyak  diantara Rakyat Indonesia yang tidak tau akan haknya sebagai warga negara. Padahal hal ini telah diatur di dalam UUD 1945.Dalam UUD 1945 telah diatur hak dan kewajiban sebagai Warga Negara Indonesia. . Selain itu banyak  diantara  pejabat aperatur negara yang mengabaikan  hak dan kewajiban kita tersebut.Itu berarti betapa jauhnya kita dari kaidah hukum UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusi negara kita.
      Hak adalah  Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Sedangkan Warga Negara Indonesia adalah bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara Indonesia.
     Hak kita sebagai Warga Negara Indonesia antara lain diatur dalam pasal 27 dan 28 UUD1945.Sedangkan  kewajiban kita sebagai Warga Negara Indonesia diatur dalam pasal 27,28,dan 30. Namun sayang sekali dalam perwujudan sehari-hari tidak begitu terlaksana
Kata Kunci; Hak,kewajiban,warga negara
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
       Makalah ini saya tujukan untuk seluruh warga  Indonesia  yang tidak lain sebagai bagian dari Bangsa Indonesia .Banyak diantara kita tidak mengetahui hak dan kewajiban kita sebagai warga negara.Padahal hak dan kewajiban  kita sebagai warga negara telah siatur salam UUD 1945 . Selain itu banyak  diantara  pejabat aperatur negara yang mengabaikan  hak dan kewajiban kita tersebut.Itu berarti betapa jauhnya kita dari kaidah hukum UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusi negara kita.
  Salah satu dampak dari ketidak tahuan kita tentang hak dan kewajiban kita sebagai warga Indonesia  adalah pelanggaran terhasap hak kita serta tidak terlaksananya  kewajiban kita sebagai warga negara.Selain itu  diantara kita ada yang hanya menuntut haknya sebagai warga  negara tanpa melaksanakan kewajibannya.Hal ini sungguh ironi.
1.2 Tujuan penulisan
Ø  Sebagai media sosialisasi dan informasi tentang hak dan kewajiban kita sebagai warga Negara Indonesia 
Ø  Sebagai referensi bagi mahasiswa untuk membuat makalah tentang hak  dan kewajiban warga negara menurut UUD 1945
Ø  Untuk memenuhi tugas kuliah Bahasa Indonesia
1.3 Ruang lingkup
  Ruang lingkup dari makalah ini adalah mencakup aspek tentang hak dan kewajiban warga negara menurut UUD 1945 dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
1.4 Sumber data
1.      Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan.
2.      UUD ‘45
1.5 Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan metode tinjauan dari beberapa sumber

Pembahasan
1.1Pengertian hak  , kewajiban, serta warga negara Indonesia
        Hak adalah Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Contohnya: hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan nilai dari guru dan sebagainya. Adapun Prof. Dr. Notonagoro mendefinisikannya sebagai berikut: “Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.
   
    Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan (Prof. Dr. Notonagoro). Sedangkan Kewajiban adalah Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Contohnya : melaksanakan tata tertib di sekolah, membayar SPP atau melaksanakan tugas yang diberikan guru dengan sebaik-baiknya dan sebagainya.
      Hak dan Kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, akan tetapi terjadi pertentangan karena hak dan kewajiban tidak seimbang. Bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak, tetapi pada kenyataannya banyak warga negara yang belum merasakan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya. Semua itu terjadi karena pemerintah dan para pejabat tinggi lebih banyak mendahulukan hak daripada kewajiban. Padahal menjadi seorang pejabat itu tidak cukup hanya memiliki pangkat akan tetapi mereka berkewajiban untuk memikirkan diri sendiri. Jika keadaannya seperti ini, maka tidak ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Jika keseimbangan itu tidak ada akan terjadi kesenjangan sosial yang berkepanjangan.
        Untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu dengan cara mengetahui posisi diri kita sendiri. Sebagai seorang warga negara harus tahu hak dan kewajibannya. Seorang pejabat atau pemerintah pun harus tahu akan hak dan kewajibannya. Seperti yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman sejahtera. Hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Karena para pejabat tidak akan pernah merubahnya, walaupun rakyat banyak menderita karena hal ini. Mereka lebih memikirkan bagaimana mendapatkan materi daripada memikirkan rakyat, sampai saat ini masih banyak rakyat yang belum mendapatkan haknya. Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang berdemokrasi harus bangun dari mimpi kita yang buruk ini dan merubahnya untuk mendapatkan hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia.
       Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Pada para pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju. Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian dan tidak mendapatkan hak-haknya.
       Pengertian Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara serta mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu perssekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama.
      Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dimaksud untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara Indonesia.
Dalam pasal 1 UU No. 22/1958 bahwa warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.
      Warga negara Indonesia menurut Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI adalah:
a.  Setiap orang yang berdasarkan peraturan per – undang-undangan dan atau berdasarkan perjanjian pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi WNI.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI.
c.  Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu WNA.
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI.
e.  Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
f. Anak yang baru lahir dan ditemukan di wilayah negara RI selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
g.  Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara RI dari seorang ayah dan Ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaan kepada anak yang bersangkutan.
h.  Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
       Dahulu istilah warga negara seringkali disebut hamba atau kawula negara yang dalam bahasa inggris (object) berarti orang yang memiliki dan mengabdi kepada pemiliknya.
AS Hikam mendifinisikan bahwa warga negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri.
       Sedangkan Koerniatmanto S, mendefinisikan warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya.Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.
     Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dikhususkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam pasal 1 UU No. 22/1958 bahwa warga negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.

1.2Hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia
       Hak dan kewajiban warga negara itu tercantum dalam pasal UUD 1945  sebagai berikut
Ø  Hak Warga Negara Indonesia  :
-   Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak ataspekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
-   Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
-   Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
-   Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
-   Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demimeningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
-   Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
-   Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
-   Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1
Ø  Kewajiban Warga Negara Indonesia  :
-   Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
-   Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan  : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
-   Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan : Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
-   Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
-   Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
1.3Wujud nyata  Pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dalam kehidupan sehari-hari
Tabel Perwujudan Pelaksanaan Kewajiban Warga Negara

No.
Pelaksanaan Kewajiban Warga Negara
Wujud Nyata
1.
Pasal  27 ayat 1, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Masih banyak warga negara yang malah melanggar hukum dan juga masih banyak pejabat-pejabat yang mendapat pengecualian dalam hukum.
2.
Pasal 27 ayat 3, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.”
Masih kurangnya kesadaran warga negara dalam upaya pembelaan negara. Bahkan masih banyak warga negara yang tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam upaya pembelaan negara.
3.
Pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Masih adanya teror-teror di suatu tempat peribadatan suatu agama, sehingga tidak merasa aman dalam beribadah. Contohnya saja adanya teror bom pada Hari Natal di suatu gereja. Ini membuktikan bahwa negara masih belum bisa menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
4.
Pasal 30 ayat 1, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
Masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Contoh sederhananya seperti ada orang yang tidak ikut jaga pos kamling di kampungnya, padahal hari tersebut merupakan jadwal jaganya di pos kamling tersebut.
5.
Pasal 31 ayat 2, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Masih banyak orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya di sekolah dasar, malah menyuruh anaknya untuk langsung bekerja. Sehingga anaknya itu sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan dasar. Selain itu, masih banyak sekolah-sekolah dasar yang tetap “mengambil uang” dari siswanya meskipun sudah ada peraturan “Wajib Belajar 9 Tahun” yang merupakan program pendidikan yang diadakan pemerintah.
6.
Pasal 33 ayat 2, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Masih banyak pejabat-pejabat serakah yang mengkorupsi uang hasil bumi negara. Sehingga uang hasil bumi yang seharusnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, malah masuk ke kantong pribadi pejabat-pejabat serakah tersebut.


Tabel Perwujudan Pelaksanaan Hak Warga Negara

No.
Pelaksanaan Hak Warga Negara
Wujud Nyata
1.
Pasal 27 ayat 2, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan malah ada yang masih pengangguran. Karena pekerjaan yang tidak layak tersebut, maka banyak juga masyarakat yang akhirnya penghidupannya kurang layak.
2.
Pasal 28B ayat 2, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Masih banyak berita tentang penyiksaan anak dibawah umur, ada yang memaksa anak-anak dibawah umur tersebut untuk berjualan, mengemis, dll. Bahkan yang paling baru ini, tentang tindak pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.
3.
Pasal 28D ayat 1, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Masih banyak perlakuan-perlakuan yang berbeda di hadapan hukum. Contohnya banyak pejabat-pejabat yang mendapat perlakuan khusus di dalam hukum, sehingga selalu menang dalam suatu persidangan.
4.
Pasal 28D ayat 2, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Banyak buruh-buruh yang digaji kurang layak (mendapat upah minimum). Sehingga para buruh tersebut tidak bisa memberikan penghidupan yang layak kepada keluarganya.
5.
Pasal 28E ayat 3, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Masih adanya pembatasan dalam mengeluarkan pendapat, meskipun hal tersebut tidak tampak di depan publik. Tetapi ketika di “belakang layar”, orang tersebut mendapat ancaman agar tidak mengemukakan pendapatnya.
6.
Pasal 31 ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Di daerah-daerah pelosok Nusantara, masih jarang berdiri sekolah, jika pun ada, itu tidak layak. Sehingga anak-anak di daerah-daerah pelosok tersebut sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan.



Penutup
1.1 KESIMPULAN
           Hak adalah Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Sedangkan Kewajiban adalah Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Kedua harus menyatu, maksudnya dikala hak-hak kita sebagai warga negara telah didapatkan, maka kita juga harus menenuaikan kewajiban kita kepada negara seperti: membela negara, ikut andil dalam mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif yang bisa memajukan bangsa ini.
          Warga Negara adalah penduduk yang sepenuhnya dapat diatur oleh Pemerintah Negara tersebut dan mengakui Pemerintahnya sendiri.  Secara garis besar hak dan kewajiban warga Negara Indonesia itu antara lain;
           Hak-Hak kita warga negara sebagai anggota masyarakat telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar sebagai berikut:
- Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : “Tiap warga negara berhak ataspekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
-   Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
-   Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
-   Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
-   Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demimeningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
-   Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
-   Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
-   Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1)
kewajiban kita dalam UUD 1945  sebagai berikut;
-   Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi : segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
-   Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan  : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
-   Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28J ayat 1 mengatakan : Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
-   Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 28J ayat 2 menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
-   Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Pasal 30 ayat (1) UUD 1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.”
1.2 Daftar pustaka
Suharizal 2015 .Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan .Tidak  diterbitkan
2009.UUD’45 Republik Indonesia,Bukittinggi:Lestari



Hukum acara

NAMA; Jefri Syahril
BP; 1510111151
Pengantar Hukum Indonesia


                DASAR-DASAR HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

1.             Pengertian
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dan pasal 24 C UUD 1945. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi sebagai bagian atau pelaku kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan, oleh karena itu mempunyai tatacara dan prosedur beracara  yang pelaksanaannya diatur dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi merupakan hukum formal yang mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam upaya menegakkan hukum material di peradilan Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya Hukum Acara Mahkamah Konsitusi, maka Mahkamah Konsitusi mempunyai fungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya konstitusi oleh lembaga-lembaga Negara maupun oleh warga masyarakat melalui peradilan konstitusi.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi/publik bertindak melaksanakan dan mempertahankan hak-haknya di  Mahkamah Konstitusi; atau dengan kata lain Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang mengatur tata cara bersengketa di Mahkamah Konstitusi

2.             Sumber Hukum
Sumber hukum beracara di Makamah Konstitusi antara lain :
a.              Undang-Undang Dasar  R.I. Tahun 1945;
b.             Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;
c.              Undang-Undang No. 48 Tahun 2009  Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004  dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman);
d.             Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 03/PMK/2003 Tentang Tata Tertib Persidangan pada Mahkamah Konstitusi R.I.;
e.              Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu;
f.              Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 05/PMK/2004 Tentang Prosedur Pengajuan Keberatan atas Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
g.             Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang;
h.             Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 Tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konsitusi Lembaga Negara;
i.               Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 14/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
j.               Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15/PMK/2008 Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah; dan Peraturan-peraturan Mahkamah Konstitusi yang berisi tentang tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi;
k.             Yurisprudensi;
l.               Doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.

3.             Asas-Asas Hukum Acara
Asas-asas hukum adalah nilai-nilai moral yang mendasari atau melandasi norma hukum positif, atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak dari norma hukum positif. Menurut Bellefroid, asas hukum (rechtsbeginsellen) merupakan norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.  Asas hukum umum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno Mertokusumo, l988 :32)[1]. Asas hukum adalah meta kaidah yang berkenaan dengan kaidah hukum dalam bentuk kaidah prilaku (Brugink, dalam Arief Sidharta,1996 : 121).[2]  Asas Hukum adalah alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari suatu norma hukum (G.W. Paton, 1969 : 204).[3]
Asas-asas dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi antara lain :
a.              asas independensi hakim (Pasal 2 UUMK);
b.             asas  mengadili menurut hukum/equality before the law (Pasal 5 ayat (1) UUKK);
c.              asas sidang terbuka untuk umum (Pasal 40 UUMK);
d.             asas praduga rechmatige (undang-undang yang dilakukan hak uji adalah undang-undang yang sah berlaku);
e.              asas beracara secara tertulis (Pasal 29 UUMK);
f.              asas beracara boleh diwakilkan (Pasal 29, 43 UUMK);
g.             asas hakim aktif/dominus litis (Pasal 39, 41 UUMK);;
h.             asas pemeriksaan oleh hakim majelis ( Pasal 28 ayat 1);
i.                asas putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 28 ayat (5) UUMK);
j.               asas putusan berkekuatan hukum tetap dan bersifat final, artinya tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan MK (Pasal10 ayat 1 jo. pasal 47 UUMK);
k.             asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2 UUKK);
l.               asas putusan hakim mengikat secara erga omnes, artinya putusan MK tidak hanya mengikat  pihak-pihak yang bersengketa (internparties), tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes);
m.           asas pembuktian bebas, artinya pembuktian berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim;
n.             asas sosialisasi putusan hakim, artinya putusan hakim wajib diumumkan dan dilaporkan kepada masyarakat (Pasal 13 UUMK).
4.             Kekuasaan Mahkamah Konstitusi
Menurut Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UUMK, kekuasaan Mahkamah Konstitusi adalah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a.              menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945;
b.             memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara R.I. Tahun 1945;
c.              memutus pembubaran Partai Politik;
d.             memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Selain itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa : (a) pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang; (b) korupsi dan penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; (c)  tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (d) perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan/atau; (e) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD Negara R.I. Tahun 1945 (Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) UUMK).
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUMK, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan (Pasal 11 UUMK).

5.             Pihak – Pihak Yang Bersengketa
Dalam bersengketa atau berperkara di Mahkamah Konstitusi, para pihak yang bersengketa  bukan penggugat dan tergugat, tetapi  Pemohon dan Termohon. Beracara di Mahkamah Konstitusi menggunakan istilah “Permohonan” bukan gugatan seperti dalam Hukum Acara Perdata.
Dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi, dibedakan antara yang termasuk perkara ”volunter” dan perkara “contentious”. Dalam perkara “volunter” hanya ada satu pihak yakni pemohon, sedangkan yang termasuk “contentious” ada dua pihak yakni pemohon dan termohon.
 Perkara “volunter” di Mahkamah Konstitusi berupa perkara :
1)             pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;
2)             sengketa kewenangan Lembaga Negara;
3)             pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran  hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUD Negara R.I. 1945.  
Perkara yang termasuk “contentious” (ada pemohon dan termohon) adalah perkara tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi berupa  pembubaran partai politik, dan sengketa Pemilihan Umum.
Menurut Pasal 51 ayat (1) UUMK pihak-pihak yang memenuhi syarat sebagai pemohon adalah pihak yang hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang,  yaitu :
a)             perorangan warga Negara Indonesia;
b)             kesatuan  masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip  Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c)             badan hukum publik atau privat, dan
d)            Lembaga Negara.

6.             Prosedur Beracara
Prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
Pertama, Pengajuan Permohonan. Pengajuan permohonan dengan persyaratan  : (a) permohonan diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya; (b) permohonan ditandangani oleh pemohon atau kuasanya; (c) uraian permohonan harus jelas mengenai (misalnya : pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, atau perselisihan tentang pemilihan umum, pembubaran partai politik); (d) permohonan sekurang-kurangnya memuat uraian yang dimohon dan hak yang diminta pemohon;
Kedua, Pendaftaran Permohonan dan Penetapan Jadwal Sidang. Pendaftaran permohonan diajukan  kepada panitera MK. Permohonan yang belum lengkap harus dilengkapi selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak pemberitahuan kekuranglengkapan berkas permohonan. Permohonan yang lengkap dicatat dalam buku registrasi MK. Setelah permohonan dicatat dan diberi nomor perkara dalam buku registrasi perkara, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, MK menetapkan hari sidang. Penetapan hari sidang pertama harus diberitahukan kepada para pihak, dan diumumkan kepada masyarakat dengan cara menempelkan di papan pengumuman  yang khusus untuk itu.
Ketiga, Pemeriksaan Pendahuluan. Sebelum hakim memeriksa pokok perkara, MK mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Apabila berkas permohonan belum lengkap, MK memberi nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari. Apabila berkas permohonan sudah lengkap, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
Keempat, Pemeriksaan di Persidangan. Persidangan MK dilakukan secara terbuka untuk umum. Dalam persidangan, hakim memeriksa permohonan serta alat-alat bukti yang diajukan. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberikan keterangan yang diperlukan dan/atau memberikan keterangan secara tertulis kepada Lembaga Negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga Negara yang dimaksud wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim  MK diterima. Dalam pemeriksaan di persidangan, pemohon/termohon boleh  didampingi atau diwakili  oleh kuasanya.
Kelima, Pembuktian. Menurut pasal 36 UUMK, macam-macam alat bukti yang digunakan beracara di MK adalah  sebagai berikut : (a) surat atau tulisan; (b) keterangan saksi; (c) keterangan ahli; (d) keterangan para pihak; (e) petunjuk; dan (f) alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa  untuk itu.
MK menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan, dan menilai alat-alat bukti yang diajukan kepersidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan MK. Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah  meskipun sudah dipanggil secara patut menutut hukum,  MK dapat minta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi secara paksa (Pasal 38 ayat (4) UUMK).
Keenam, Putusan MK. Mahkamah Konstitusi  memberi putusan berdasarkan kesesuaian alat-alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang bersesuaian. Putusan wajib memuat fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
Isi Putusan MK antara lain : (a) permohonan tidak dapat diterima, artinya permohonan tidak memenuhi syarat formal sebagaimana yang diharuskan oleh undang-undang (Pasal 56 ayat (1), 64 ayat (1), 77 ayat (1), 83 ayat (1) UUMK); (b) permohonan ditolak, karena permohonan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum, misalnya karena undang-undang yang dimohonkan hak uji tidak bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 56 ayat (3), atau Presiden tidak terbukti korupsi (pasal 83 ayat (3) UUMK); (c) permohonan dikabulkan, karena  mempunyai alasan/dasar hukum yang kuat, misalnya undang-undang yang diajukan hak uji bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 56 ayat (2, 3), atau membatalkan hasil perhitungan suara oleh KPU, dan membenarkan perhitungan suara oleh pemohon (Pasal 77 ayat (3) UUMK).
Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 47 UUMK) dan bersifat final (Pasal 10 ayat 1 UUMK), artinya putusan MK langsung mengikat para pihak yang bersengketa sejak diucapkan, sehingga tidak ada upaya hukum lain (banding, kasasi, peninjauan kembali).
Putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 57 ayat (3) UUMK). MK wajib mengirim salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak  putusan diucapkan. (Pasal 49 UUMK).

                                                    
                            DASAR-DASAR HUKUM ACARA PIDANA

1.             Pengertian
Hukum Acara Pidana merupakan bagian dari Hukum Pidana dalam arti luas yang terdiri dari hukum pidana material dan hukum pidana formal. Hukum pidana material mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diharuskan, siapa  yang melanggar larangan atau keharusan diancam dengan hukuman atau pemidanaan.
Hukum Acara Pidana juga disebut sebagai Hukum Pidana Formal, adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara aparatur Negara yang berwenang (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) melaksanakan dan mepertahankan hukum pinada material yang dilanggar.
Menurut van Bemmelen, ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan yang diadakan oleh negara dalam hal adanya persangkaan dilanggarnya hukum pidana. (Achmad S. Soema Dipradja,1977 : 3).[1]

2.             Fungsi Hukum Acara Pidana
Fungsi hukum acara pidana menurut van Bemmelen,  antara lain :
Pertama, mencari dan menemukan kebenaran karena adanya persangkaan atau dugaan dilanggarnya undang-undang hukum pidana.
Kedua, diusahakan diusutnya pelaku tindak pidana (dilakukan penyidikan).
Ketiga, diupayakan tindakan agar pelaku tindak pidana ditangkap dan ditahan.
Keempat, mengumpulkan barang-barang bukti dari hasil penyidikan untuk mendukung kebenaran dan tuntutan terhadap terdakwa dalam pemeriksaan di pengadilan.
Kelima, menyerahkan pelaku kepada pengadilan untuk diperiksa dan dijatuhkan putusan pidana.
Keenam, menentukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan.
Ketujuh, melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi). Apabila disimpulkan, maka fungsi hukum acara pidana ada 3 (tiga) yakni : (1) mencari dan menemukan kebenaran; (2) mengadili dan menjatuhkan putusan kepada terdakwa, dan (3)  melaksanakan putusan (eksekusi) pengadilan terhadap terdakwa.

3.             Sumber Hukum
a.              Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945
b.             Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP)
c.              Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
d.             Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara;
e.              Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman);
f.              Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, dan Undang-undang No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung);
g.             Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum (Perubahan dari Undang-undang No. 8 tahun 2004, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum);
h.             Undang-Undang No. 16 Tahun  2004 Tentang Kejaksaan;
i.               Jurisprudensi;
j.               Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

4.             Asas-Asas Hukum
Asas-Asas Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut :
a.              asas peradilan berdasarkan undang-undang (asas legalitas) ;
b.             asas setiap orang diperlakukan sama di muka hukum (asas equality before the law);
c.              asas praduga tidak bersalah (asas presumption of innoncence);
d.             asas tersangka/terdakwa sebagai subyek pemeriksaan (asas accusatoir) ;
e.              asas peradilan bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan;
f.              asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
g.             asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
h.             asas pengadilan memeriksa perkara dengan hadirnya terdakwa (tidak mengenal asas in absentia);
i.               asas pemeriksaan perkara oleh hakim majelis;
j.               asas beracara secara lisan (terdakwa dan saksi berbicara langsung dengan hakim);
k.             asas putusan pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum; l. asas putusan disertai alasan-alasan yang sah menurut hukum;
l.               asas pengawasan pelaksanaan putusan  oleh pengadilan;
m.           asas jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

5.             Sifat Hukum Acara Pidana
Karena tujuan hukum pidana (material) melindungi kepentingan umum, maka Negara melalui aparatur penegak/pelaksana hukum pidana (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) berkewajiban untuk melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana material yang dilanggar oleh siapapun. Apabila ada pelanggaran terhadap hukum pidana (material), maka aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan/kehakiman tanpa diminta oleh korban kejahatan, harus sanggup melaksanakan tugas kewajibannya untuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan, penuntutan,  mengadili dan  mengeksekusi pelaku kejahatan. Dengan demikian berarti hukum acara pidana adalah bersifat memaksa (dwangenrecht).

6.             Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa
Tersangka  dan Terdakwa mempunyai hak-hak sebagai berikut :
a.              hak segera diperiksa dan diadili (Pasal 50 KUHAP);
b.             hak untuk mengetahui dengan jelas tentang yang disangkakan atau didakwakan (Pasal 51 KUHAP);
c.              hak untuk memberikan keterangan secara bebas (Pasal 52 KUHAP);
d.             hak mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1) KUHAP);
e.              hak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkatan pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP);
f.              hak untuk mendapat nasehat hukum dari penasehat hukum secara cuma-cuma bagi terdakwa hukuman mati (Pasal 56 KUHAP);
g.             hak untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2) KUHAP);
h.             hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka/terdakwa yang ditahan (Pasal 58 KUHAP);
i.               hak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka/terdakwa (Pasal 59-61 KUHAP);
j.               hak untuk dikunjungi sanak keluarganya guna kepentingan pekerjaan/keluarga (Pasal 61 KUHAP);
k.             hak untuk berhubungan surat menyurat (Pasal 62 KUHAP);
l.               hak untuk menghubungi dan dikunjungi rokhaniawan (Pasal 63 KUHAP);
m.           hak mengajukan saksi ahli/saksi a decharge (Pasal 65 KUHAP);
n.             hak tidak dibebani pembuktian (Pasal 66 KUHAP);
o.             hak mengajukan upaya hukum (Pasal 67 KUHAP);
p.             hak menuntut ganti rugi/rehabilitasi (Pasal 68 KUHAP);
q.             hak untuk mendapat salinan berita acara pemeriksaan (Pasal 72 KUHAP);

7.             Sistem Pemeriksaan
Ada dua macam sistem pemeriksaan dalam ilmu hukum acara pidana, yaitu :
Pertama, “sistem inquisitoir”. Sistem inquisitoir menempatkan tersangka sebagai obyek pemeriksaan oleh aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum). Dalam sistem inquisitoir, pemeriksaan dilakukan dengan keras untuk memperoleh pengakuan bersalah dari tersangka atau terdakwa yang akan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Pada pemeriksaan sistem inquisitoir, tersangka tidak boleh didampingi oleh pembela atau penasehat hukum.
Pemeriksaan sistem inquisitoir dimulai sejak abad 13 dan diakhiri awal abad 19, dan sekarang sudah ditinggalkan.
Kedua,sistem accusatoir”, tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai subyek yang memperoleh hak untuk berdebat dan berpendapat dengan pihak penyidik dan/atau penuntut umum, atau hakim pemeriksa perkara di persidangan sehingga masing-masing pihak mempunyai hak dan kedudukan yang sama di dalam pemeriksaan untuk  mencari kebenaran material. Dalam sistem accusatoir, hakim bertindak sebagai wasit yang tidak memihak. Hakim berperan aktif apabila para pihak (Jaksa Penuntut Umum, terdakwa, dan/atau penasehat hukum) saling beragumentasi untuk memperkuat fakta-fakta dengan alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Menurut KUHAP pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa menggunakan pemeriksaan dengan sistem“ accusatoir”.

8.             Subyek-subyek dalam Hukum Acara Pidana
Subyek-subyek hukum dalam hukum acara pidan antara lain :
a.              Penyelidik dan penyidik (kepolisian);
b.             Penuntut umum (kejaksaan);
c.              Hakim (pengadilan);
d.             Tersangka/terdakwa yang diperiksa;
e.              Penasehat hukum/pembela;
f.              Panitera sidang;
g.             Eksekutor putusan Pengadilan (kejaksaan).

9.             Tahapan beracara pidana
Berdasarkan kewenangan aparat penegak hukum pidana, ada beberapa tahapan antara lain :
a.              penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian Negara RI;
b.             penuntutan oleh Jaksa Penuntut umum;
c.              pemeriksaan terdakwa oleh hakim persidangan;
d.             pelaksanaan (eksekusi) putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum.


10.         Alat-alat bukti
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Adapun macam-macam alat bukti menurut pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut : (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk, dan (e) keterangan terdakwa. Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pengantar Hukum Indonesia (Bab XX)


DASAR-DASAR HUKUM ACARA PERDATA

1.             Pengertian
Hukum Acara perdata merupakan bagian dari hukum perdata dalam arti luas yang terdiri dari  hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material lebih dikenal dengan sebutan “hukum perdata” adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antar perorangan yang satu dengan perorangan yang lain, atau hubungan hukum yang mengatur kepentingan pribadi atau individu.
Hukum Acara Perdata juga dinamakan Hukum Perdata Formal yang berfungsi mempertahankan dan melaksanakan hukum perdata material apabila dilanggar. Hukum Acara Perdata adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara seseorang atau badan pribadi  mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di peradilan perdata. Dengan kata lain hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara bersengketa di peradilan perdata.

2.             Sumber Hukum
a.              Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945;
b.             Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
c.              Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung;
d.             Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum;
e.              Het Herziene Indonesische Reglement (HIR/RIB) untuk Jawa dan Madura;
f.              Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg. atau Reglement) untuk luar Jawa dan   Madura;
g.             Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (Rv. Reglement/Hukum   Acara Perdata) untuk golongan Eropa;
h.             Jurisprudensi;
i.               Praktek hukum sehari-hari sebagai hukum kebiasaan;
j.               Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

3.             Asas-Asas Hukum.
Asas-Asas Hukum Acara Perdata, antara lain  :
a.              hakim bersifat menunggu, artinya dalam proses hukum acara perdata  kehendak atau inisiatif gugatan diserahkan kepada para pihak yang berkepentingan (berperkara). Apabila tidak ada gugatan ke pengadilan, hakim tidak berwenang mengadili. Istilahnya tidak ada gugatan tidak ada hakim (wo kein klager ist, ist kein richter/nemo judex sine actore);
b.             hakim aktif,  artinya sejak awal sampai akhir persidangan hakim harus aktif memberi nasehat dan bantuan kepada para pihak yang berperkara tentang cara memasukkan gugatan (Pasal 119, 195 HIR/Pasal143 Rbg); hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR); hakim wajib memberi nasehat kepada para pihak untuk melakukan upaya hukum dan memberikan  keterangan yang diperbolehkan (Pasal 132 HIR). Hakim tetap terikat pada kasus yang diajukan para pihak (secundum allegata iudicare). Beracara menurut Rechtsvordering (Rv), hakim bersifat pasif;
c.              sidang bersifat terbuka, artinya pemeriksaan perkara di pengadilan bersifat  terbuka untuk umum (openbaar), setiap orang boleh hadir dalam pemeriksaan perkara di persidangan (Pasal 179 ayat (1) HIR);
d.             persamaan hak di muka hukum (equality before the law), artinya semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, hakim harus bertindak adil, karena itu tidak boleh memihak salah satu pihak yang bersengketa;
e.              tidak harus diwakilkan, artinya berperkara di pengadilan tidak harus diwakilkan/dikuasakan. Akan  tetapi para pihak dapat juga diwakili oleh kuasanya kalau dikehendaki (Pasal 123 HIR/Pasal 147 Rbg.);
f.              beracara dengan lisan (mondelinge procedure), artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan dengan tanya jawab antara hakim dengan para pihak maupun dengan saksi. Selain itu para pihak diperbolehkan menyampaikan dengan surat-surat atau tulisan (Pasal 121 ayat (2) HIR/RIB);
g.             beracara secara langsung, artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan secara langsung (onmiddellijk heid van procedure), hakim berhadapan, berbicara, mendengar keterangan  dari para pihak yang berperkara maupun dengan saksi di persidangan. Asas ini  dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau kedua pihak harus didengar;
h.             beracara dikenai biaya, artinya  berperkara di pengadilan harus membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR/Pasal 145 ayat (4), 192-194 Rbg. jo Pasal 5 ayat (2) UUKK);
i.               hakim harus berusaha mendamaikan, artinya  sebelum acara pemeriksaan perkara dimulai, hakim lebih dahulu harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/ Pasal 154 Rbg. jo Pasal 16 ayat (2) UUKK).
j.               putusan hakim harus disertai alasan-alasan hukum, artinya setiap putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan hukum sebagai dasar putusan mengadili (Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 ayat (1) Rbg. jo Pasal 19 ayat (4) UUKK);
k.             hakim terikat pada alat bukti, artinya hanya boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan alat-alat bukti yang sah atau yang ditentukan dalam undang-undang.

4.             Proses Gugatan
Proses  berperkara perdata di peradilan umum, meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan terakhir berpuncak di Mahkamah Agung untuk upaya kasasi dan peninjauan kembali, serta hak uji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Proses gugatan perkara perdata diajukan ke Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan  tahapan  sebagai berikut :
Pertama, pengajuan gugatan. Surat gugatan/permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani penggugat/pemohon disampaikan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat yang berkompetensi memeriksa perkara gugatan. Pengadilan Negeri yang berwenang sebagaimana dimaksud  diatur dalam pasal 118 HIR/ Pasal 142 Rbg. jo. Pasal 20 s/d. 23  P.P. No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:  
a)             gugatan diajukan kepada Ketua  Pengadilan Negeri tempat kediaman tergugat (Pasal 118 ayat (1) HIR).
b)             apabila tergugat terdiri lebih dari seorang yang tempat tinggalnya berbeda, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat yang diketahui secara jelas, demikian pula apabila yang digugat orang yang berutang, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat tinggal tergugat yang berutang (Pasal 118 ayat (2) HIR).
c)             apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, atau yang digugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri  yang mewilayahi tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, apabila yang digugat adalah barang tetap (tidak bergerak) maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri  yang mewilayahi tempat barang tetap berada (Pasal 118 ayat (3) HIR).
d)            apabila ada tempat tinggal yang dipilih/ditunjuk dengan akta, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh akta yang bersangkutan (Pasal 118 ayat (4) HIR).
Untuk gugatan perkawinan dan perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maka gugatan ditentukan sebagai berikut :
a)             apabila menyangkut pembatalan perkawinan, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (bagi yang tidak beragama Islam), atau Ketua Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilaksanakan, atau di tempat tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 jo Pasal 63 ayat (1) UUP jo Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
b)             gugatan perceraian di ajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama di tempat kediaman tergugat.  Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
c)             apabila yang digugat berada di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada  Ketua Pengadilan Negeri tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan gugatan kepada tergugat melalui perwakilan Negara R.I. (Pasal 20 ayat (3) P.P. No. 9 Tahun 1975).
d)            terhadap gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat (1) P.P.No. 9 Tahun 1975).
e)             gugatan perceraian karena alasan suami-isteri terus menerus berselisih dan bertengkar, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman tergugat (Pasal 22 ayat (1) P.P.No. 9 Tahun 1975).
f)              gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami atau isteri dihukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti di persidangan penggugat cukup menyampaikan salinan putusan dari pengadilan yang memutus perkara pidana, disertai keterangan bahwa putusan  telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 23 P.P. No. 9 Tahun 1975).
Kedua, membayar biaya perkara. Pasal 121 ayat (4)/Pasal 145 ayat (4) Rbg menentukan bahwa, syarat agar gugatan/permohonan dapat diterima dan  didaftar dalam register perkara, bilamana penggugat/pemohon telah  membayar uang muka atau “panjar” biaya perkara. Dalam hal ini calon penggugat/pemohon membayar biaya perkara di kasir dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan.
Ketiga, pendaftaran perkara gugatan/permohonan. Setelah membayar biaya perkara di kasir, penggugat/pemohon mendaftarkan gugatan/permohonan ke petugas pendaftaran di kepaniteraan pengadilan yang bersangkutan  dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan untuk diberi nomor perkara dan didaftar dalam buku register perkara.
Keempat, Penetapan Majelis Hakim. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Ketua Pengadilan menerima surat gugatan/permohonan dari penggugat/pemohon melalui panitera, Ketua Pengadilan menunjuk/menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksa perkara di persidangan (Pasal 121 HIR). Dalam hal ini Ketua Pengadilan memberikan semua berkas perkara kepada Majelis Hakim untuk diperiksa di persidangan.
Kelima, penunjukan panitera sidang. Untuk membantu Majelis Hakim di persidangan, ditunjuk seorang panitera/panitera pengganti sebagai panitera sidang yang bertugas mencatat jalannya persidangan.
Keenam, penetapan hari sidang. Setelah menerima berkas perkara dari Ketua Pengadilan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari, tanggal dan jam pemeriksaan perkara atau persidangan. Dalam hal ini Ketua Majelis Hakim memerintahkan panitera untuk memanggil para pihak yang berperkara agar hadir pada hari, tanggal dan jam persidangan yang telah ditetapkan.
Ketujuh, pemanggilan para pihak. Berdasarkan perintah Ketua Majelis Hakim, panitera/panitera pengganti melakukan pemanggilan kepada para pihak yang berperkara agar hadir dipersidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan (Pasal122 HIR).

5.             Pemeriksaan Di Persidangan.
Pada hari sidang pertama yang telah ditetapkan oleh pengadilan,  para pihak penggugat/pemohon, dan tergugat/termohon dipanggil agar hadir di persidangan. Dalam sidang pertama ini akan diketemukan beberapa kemungkinan, yaitu :
a)             Penggugat/pemohon dan tergugat/termohon tidak hadir dalam sidang. Apabila kedua pihak tidak hadir dalam persidangan, majelis hakim dapat melakukan penundaan sidang dan memerintahkan panitera agar memanggil kedua pihak hadir dalam persidangan berikutnya, atau hakim menjatuhkan putusan gugur dan perkara tidak diperiksa;
b)             Penggugat tidak hadir, tetapi tergugat hadir. Bilamana penggugat atau wakilnya. tidak hadir, sedang tergugat hadir, maka hakim memerintahkan supaya penggugat yang tidak datang dipanggil sekali lagi (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rv.). Apabila penggugat  telah dipanggil dengan patut tidak hadir lagi, sedangkan tergugat hadir, maka gugatan penggugat  dinyatakan gugur dan penggugat dihukum membayar biaya perkara. Penggugat masih diberi kesempatan mengajukan gugatannya sekali lagi setelah membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 Rbg.);
c)             Tergugat tidak hadir, tetapi penggugat hadir. Dalam hal tergugat tidak hadir, sedangkan penggugat hadir, maka hakim dapat menunda persidangan, dan tergugat dipanggil sekali lagi agar hadir pada sidang berikutnya (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rbg). Apabila pada sidang berikutnya, tergugat tidak hadir lagi, maka gugatan penggugat dikabulkan dengan putusan di luar hadirnya tergugat (verstek), kecuali apabila gugatan mengenai perbuatan melawan hukum atau tidak beralasan. Putusan verstek dapat dijatuhkan pada sidang pertama ketika tergugat tidak hadir (Pasal 125 HIR/149 Rbg.).
Apabila pada sidang pertama tergugat hadir, sedangkan pada sidang berikutnya tidak hadir, maka perkaranya diperiksa secara “contradictoir” (di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara). Demikian pula jika pada sidang berikutnya tergugat hadir, tetapi penggugat tidak hadir, maka perkaranya diperiksa di luar  hadirnya salah satu pihak yang berperkara (contradictoir).
Terhadap putusan verstek dapat diajukan tuntutan perlawanan (verzet). Perlawanan (verzet) dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR/ Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rbg.). Apabila dalam acara perlawanan (verzet), penggugat tidak hadir, maka perkara diperiksa secara “contradictoir”. Kalau tergugat tidak hadir  dalam acara perlawanan (verzet), maka hakim memutus “verstek”, yang mana tuntutan perlawanan (verzet) tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard - Pasal 129 ayat (5) HIR/ Pasal 153 ayat (6) Rbg.).
d)            Penggugat dan tergugat hadir di persidangan. Apabila kedua pihak  (penggugat/tergugat) hadir dipersidangan, maka sebelum pemeriksaan perkara dimulai, hakim harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg. jo. Pasal 16 ayat (2) U.U No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Apabila perdamaian berhasil disepakati para pihak, maka dibuatlah akta perdamaian (acta van vergelijk) yang isinya menghukum para pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Putusan perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan-putusan biasa yang dapat dilakukan “eksekusi” seperti putusan hakim lainnya. Putusan akta perdamaian (acta van vergelijk) ini tidak dapat diajukan perlawanan (banding, kasasi maupun peninjauan kembali). Dengan adanya putusan akta perdamaian (acta van vergelijk) berarti gugatan tidak dapat diteruskan atau tidak dapat diajukan gugatan baru. Putusan akta perdamaian yang dapat dieksekusi adalah yang berkenaan dengan sengketa kebendaan saja. Usaha perdamaian terbuka selama pemeriksaan perkara berlangsung. Dengan adanya usaha perdamaian, ini menunjukkan bahwa hakim berperan aktif dalam hukum acara perdata.
Apabila antara kedua pihak yang berperkara tidak dapat didamaikan oleh hakim, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan acara  :
Pertama, pembacaan gugatan. Pada tahap pembacaan gugatan, terdapat beberapa kemungkinan antara lain : (a) penggugat mencabut gugatan; (b)  penggugat mengubah gugatan; (c) penggugat mempertahankan gugatan.
Apabila penggugat mempertahankan gugatannya, maka sidang dilanjutkan dengan “jawaban tergugat”.
Kedua, jawaban tergugat. Pada tahap ini tergugat diberi kesempatan untuk membela diri mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya/kepentingannya terhadap gugatan penggugat. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan “eksepsi” atau tangkisan, mengakui atau menerima gugatan sepenuhnya atau sebagian, mengaku dengan persyaratan (clausula) tertentu, atau membantah sepenuhnya, menjawab dengan berbagai cara (referte) sehingga pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan, dan/atau menjawab dengan gugatan balik (reconvensi).
Ketiga, replik penggugat. Setelah tergugat menyampaikan jawaban, kemudian hakim memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban tergugat yang sesuai dengan pendapatnya. Dalam replik, penggugat dapat mempertahankan haknya atau gugatannya dan menambah kekurangan yang dianggap perlu dengan memperjelas alasan-alasan hukum dan dalil-dalilnya, atau penggugat berubah sikap membenarkan sebagian atau keseluruhan jawaban/bantahan tergugat.
Keempat, duplik tergugat. Setelah penggugat menyampaikan jawabannya (replik), kemudian tergugat oleh hakim diberi kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Dalam acara duplik ini, tergugat dapat menolak atau menerima sebagian atau keseluruhan jawaban atau replik yang dikemukakan oleh tergugat . Dalam acara jawab menjawab antara penggugat dan tergugat (replik-duplik) dapat dilakukan secara berulang-ulang (rereplik-reduplik) sampai ada kesepakatan di antara para pihak, dan/atau sampai dianggap cukup oleh hakim.
Jika dalam acara replik-duplik atau rereplik-reduplik masih ada hal-hal yang belum disepakati oleh kedua  pihak, maka kedua pihak perlu memperkuat  dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti yang sah dalam tahap pembuktian.
Kelima, pembuktian. Pada tahap pembuktian, pihak penggugat/pemohon dan pihak tergugat/termohon diberi kesempatan memperkuat atau mendukung dalil-dalilnya dengan menyampaikan alat-alat bukti secara bergantian kepada majelis hakim dipersidangan.
Macam-macam alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata diatur  dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 B.W. yaitu : (a) bukti tertulis atau surat; (b) bukti saksi; (c) bukti persangkaan; (d) bukti pengakuan; (e) bukti sumpah.
Keenam, tahap kesimpulan. Pada tahap ini masing-masing pihak yaitu penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat akhir  secara tertulis atau lisan sebagai kesimpulan tentang hasil pemeriksaan selama persidangan.
Ketujuh,  putusan hakim. Pada tahap ini  Majelis Hakim menyampaikan pendapatnya atau pandangan hukum tentang perkara yang diperiksa selama   persidangan disertai alasan-alasan atau dasar-dasar hukum, dan diakhiri dengan putusan hakim/pengadilan. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 1917 B.W./Pasal  20  UUKK).
Dalam hukum acara perdata putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau mengikat  disebut “gezag van gewijsde” atau “kracht van gewijsde” apabila tidak ada upaya hukum biasa, yaitu verzet, banding atau kasasi. Siapapun tidak dapat mengubah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, termasuk oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum luar biasa atau khusus, yaitu peninjauan kembali (request civil)) dan perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet) (Pasal 1917 B.W /Pasal 378-379 Rv).
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 21 ayat (1) UUKK). Permohonan banding disampaikan oleh pemohon dengan surat/tertulis atau dengan lisan  kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan atau pemohon (Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947/Pasal 199 Rbg.).
Terhadap putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain  (Pasal 22 UUKK jo.Pasal 28 ayat (1) UUMA).
Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 43 UUMA). Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) yang memutus perkaranya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon (Pasal 46 UUMA).
Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang berperkara dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu atau bukti baru (novum) yang ditentukan dalam undang-undang,  termasuk apabila terdapat kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum (Pasal 23 ayat (1) UUKK jo Pasal 28 ayat (1) UUMA).  Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 23 ayat (2) UUKK). Peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 66 ayat (1) UUMA). Permohonan  peninjauan kembali disampaikan melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang telah ditentukan.
Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 70 ayat (2) UUMA). Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara; atau sejak ditemukan bukti baru (novum) yang dinyatakan di bawah sumpah serta disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UUMA).
      DASAR-DASAR HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

1.             Pengertian
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara) dalam arti luas, yang terdiri dari Hukum Tata Usaha Negara material dan Hukum Tata Usaha Negara formal.
Hukum Tata Usaha Formal yang juga disebut Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara  adalah  keseluruhan peraturan atau norma hukum yang melaksanakan dan mempertahankan hukum Tata Usaha Negara material. Dengan kata lain, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum  yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi atau publik bertindak untuk melaksanakan dan mempertahankan hak-haknya di Peradilan Tata Usaha Negara. Secara singkat, hukum peradilan tata usaha negara merupakan hukum yang mengatur tentang tatacara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Adapun Hukum Tata Usaha Negara material adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga masyarakat dengan  pejabat atau badan tata usaha negara dalam kewenangannya menjalankan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang bertugas memeriksa atau mengadili atau memutus sengketa tata usaha negara antara orang perorangan atau badan perdata dengan pejabat atau badan tata usaha negara.

2.             Sumber Hukum
Sumber Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara antara lain :
a.              Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945;
b.             Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2004);
c.              Undang- Undang  No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Udangn No 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman.);
d.             Undang-Undang  No. 3 Tahun 2009  Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No 14 Tahun 1985, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung);
e.              Yurisprudensi;
f.              Praktek Administrasi Negara sebagai hukum kebiasaan;
g.             Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

3.             Asas Asas Hukum
Asas-asas  hukum adalah nilai-nilai moral yang mendasari atau memberi  landasan norma hukum positif, atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak dari norma hukum positif. Asas-asas hukum merupakan  nilai-nilai moral  atau pikiran-pikiran dasar yang bersifat abstrak sebagai petunjuk arah bagi pembentukan dan berlakunya hukum positip. Menurut Bellefroid, asas hukum (rechtsbeginsellen) merupakan norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif, dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang  lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1988 : 32).[1]  Asas hukum adalah meta kaidah yang berkenaan dengan kaidah hukum  dalam bentuk kaidah perilaku (Bruggink, dalam Arief Sidharta, 1996 : 121).[2] Asas hukum adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas yang mendasari suatu norma hukum (G.W. Paton, 1969 : 204).[3]
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,  antara lain :
a.              asas independensi hakim (bertindak adil dan tidak memihak);
b.             asas equality before the law (asas persamaan hak di muka hukum);
c.              asas sidang terbuka untuk umum;
d.             asas diperiksa hakim majelis;
e.              asas sederhana, cepat, dan biaya ringan;
f.              asas hakim bersifat menunggu, inisiatif gugatan dari penggugat;
g.             asas beracara secara tertulis;
h.             asas berperkara membayar biaya perkara;
i.               asas beracara dapat diwakilkan;
j.               asas hakim aktif dalam proses pemeriksaan di persidangan;
k.             asas gugatan ke PTUN tidak menunda pelaksanaan putusan TUN;
l.               asas tidak dikenal adanya gugatan balik (reconvensi);
m.           asas putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
n.             asas putusan harus disertai  alasan-alasan hukum.

4.             Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), ditentukan bahwa peradilan bertugas dan berwenang, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan “sengketa Tata Usaha Negara” adalah sengketa yang timbul  dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 10 UU. No. 51 Tahun 2009 (UUPTUN).
Dari uraian Pasal 1 angka 10 tersebut, bahwa dalam sengketa Tata Usaha Negara terkandung unsur-unsur sebagai berikut : (1) sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara, artinya sengketa mengenai perbedaan penerapan dalam bidang Tata Usaha Negara; (2) sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian sengketa Tata Usaha Negara bukan sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan orang atau badan hukum perdata. Juga bukan sengketa antara Badan  atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; (3) sengketa yang dimaksud adalah akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Antara sengketa Tata Usaha Negara dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara ada hubungan sebab akibat, karena itu tidak akan terjadi sengketa Tata Usaha Negara tanpa dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
5.             Keputusan Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara merupakan  akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara  adalah “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat kongkret, individual dan final, yang  menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata” (Pasal 1 angka 9 UU. No. 51 Tahun 2009 ( UUPTUN).
Dari ketentuan Pasal 1 angka 9  UUPTUN dapat diketahui, bahwa dalam Keputusan  Tata Usaha Negara  terdapat  unsur-unsur  : (1) adanya penetapan tertulis yang menimbulkan hak dan kewajiban; (2) dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara   yang berdasarkan peraturan perundang-undangan menyelenggarakan tugas pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; (3) berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan akibat hukum terhadap hak dan kewajiban pada orang lain/badan hukum perdata; (4) Keputusan bersifat konkret, artinya keputusan Tata Usaha Negara  dapat diwujudkan, dapat ditentukan/tertentu, tidak abststrak; (5) bersifat individual, artinya keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan kepada masyarakat umum tetapi ditujukan kepada orang pribadi atau badan hukum perdata tertentu; (6) bersifat final, artinya keputusan sudah devinitip atau tetap dan menimbulkan akibat hukum, sehingga ketetapan tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain atau pejabat atasan.
Dikecualikan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara dalam bentuk tertulis, adalah apabila Badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan putusan yang menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 3 UU. No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah menjadi UU No. 51 Tahun 2009 tentang  Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN).

6.             Tidak Termasuk Keputusan Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ada beberapa macam keputusan yang tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara yaitu : (1) Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2) Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; (3) Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan; (4) Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan/atau KUHAP atau ketentuan perundang-undangan lainnya yang bersifat hukum pidana; (5)  Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (6) Keputusan TUN  mengenai tata usaha TNI; (7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilu.

7.             Pihak-Pihak  Yang Bersengketa
Pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara,  yaitu :
 Pertama, penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan  secara tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1) UU PTUN).
Kedua,  tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan  yang berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Ketiga, pihak Ketiga (pengintervensi) adalah keikutsertaan pihak ketiga dalam perkara/sengketa di peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 83 UU PTUN.

8.             Alasan atau Dasar Gugatan.
   Alasan yang dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan terhadap keputusan TUN, menurut pasal 53 ayat (2) UU PTUN adalah sebagai berikut :   
Pertama, keputusan yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya :  (a) bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat formal atau prosedural, (b) bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material atau substantial, (c)  keputusan dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang tidak berwenang.
Kedua, keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang layak.   Asas-asas pemerintahan yang layak menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN adalah  (a) asas kepastian hukum, (b) asas tertib dalam penyelenggaraan Negara, (c) asas kepentingan umum, (d) asas keterbukaan, (e) asas proporsionalitas, (f) asas profesionalitas, dan (g) asas akuntabilitas. Menurut Koentjoro Purbopranoto (1975: hlm. 29-30),  asas-asas pemerintahan yang baik (asas-asas tidak tertulis) adalah  (a) asas kepastian hukum, (b) asas keseimbangan, (c) asas kesamaan dalam mengambil keputusan, (d) asas bertindak cermat, (e) asas motivasi untuk setiap keputusan, (f) asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan, (g) asas permainan yang layak (principle of fair play), (h) asas keadilan atau kewajaran, (i) asas menanggapi pengharapan yang wajar, (j) asas meniadakan akibat-akibat  dari keputusan yang batal, (k) asas perlindungan atas pandangan hidup, (l) asas kebijaksanaan, (m) asas penyelenggaraan kepentingan umum.[4]

9.             Alat Bukti
Macam-macam alat-alat bukti yang dipergunakan dalam proses beracara di peradilan Tata Usaha Negara menurut Pasal 100 UU PTUN antara lain : (a) surat atau tulisan; (b) keterangan ahli; (c) keterangan saksi; (d) pengakuan para pihak; (d) pengetahuan hakim. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

10.         Keputusan Pengadilan
Keputusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu keputusan diucapkan, salinan putusan harus disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Keputusan pengadilan harus ditanda tangani oleh Hakim/Ketua dan anggota Majelis Hakim dan Panitera sidang. Hanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan. Salinan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari harus dikirim kepada para pihak oleh Panitera dengan surat tercatat (Pasal 116 UU PTUN). Ketua Pengadilan TUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 119 P TUN).