Rabu, 26 Juli 2017

Presidential threshold untuk kepentingan siapa?


Presidential threshold untuk kepentingan siapa?
Setelah proses persidangan yang begitu alot dan melelahkan , mulai sejak kamis (20/7) siang,RUU pemilu 2019 akhirnya di ketok palu pada jumat dini hari (21/7) oleh Setya Novanto. Setya mengambil alih sidang karena Wakil ketua DPR Fadli Zon yang semula memimpin sidang ikut keluar ruang sidang . Fadli keluar dari ruang sidang karena fraksinya ,Gerindra memilih untuk walk out . Selain Gerindra Ada beberapa fraksi antara lain PAN,Demokrat,dan PKS yang memilih untuk walk out dari ruang sidang. Keempat fraksi tersebut tidak sepakat dengan opsi voting mengenai isu krusial ambang batas presiden (presidential  treshold).Dari 539 anggota DPR ,322 menyetujui Rancangan Undang-Undang tersebut , dan sisanya 217 anggota tidak menyetujui  RUU tersebut .
Hal yang paling mendasar yang menjadi perdebatan di dalam RUU ini adalah adanya ambang batas pencalonan presiden. Dalam pasal 190 RUU pemilu tersebut disebutkan bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya. “ selain itu pada pasal  191 ayat (2) menyebutkan bahwa “Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.”
 kembali kepada Undang-Undang Dasar  1945 pasal 6A ayat (2) yang mengatur ketentuan pasangan pasangan calon presiden diajukan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.Artinya , semua peserta pemilu boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden nya . Selain itu , berdasarkan putusan MK 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa pemilu 2019 akan dilaksanakan secara  serentak yakni pemilu legislatif dan eksekutif. Dari kedua dasar hukum  tadi jelas bahwa Presidential threshold tidak tepat untuk pelaksanaan pemilu 2019.
Jika dilihat dari peta partai politik indonesia ,  saat ini ada koalisi besar yakni  PDIP,Golkar, PPP, Hanura,PKB, dan Nasdem. Berdasarkan hasil pemilu 2014 PDIP mendapat 18,95 % suara nasional, diikuti oleh Golkar 14,75 % , PPP 6,53 %,Hanura 5,26 %, PKB 9,04 % dan Nasdem 6,72. Jika dijumlahkan maka persentasenya adalah 61,25 % . Hal ini telah jauh melampaui syarat 25 % suara nasional.sedangkan sisanya  partai Gerindra  dengan perolehan suara nasional 11,81 % disusul oleh Demokrat 10,19 %, PAN 7,59 % , PKS 6,79 % . Selain itu partai peserta Pemilu 2014 yang tidak memiliki kursi di DPR yakni  PBB dengan perolehan suara 1,46 dan PKPI dengan jumlah perolehan suara nasional adalah 0,91. Masing- masing partai tersebut belum menyatakan sikapnya , apakah ingin berkoalisi atau tidak. Dengan jabaran peta kekuatan politik ini jelaslah bahwa hampir tidak mungkin partai politik untuk beroposisi. Hal ini sangat disayangkan , apalagi belum tentu  semua partai politik diluar koalisi  PDIP,Golkar, PPP, Hanura,PKB, dan Nasdem, mau untuk melakukan koalisi. Hal ini didasarkan kepada agenda, tujuan , dan kepentingan masing-masing  partai politik di pemilu 2019  nanti.  Tidak menutup kemungkinan terjadinya calon tunggal pemilu presiden 2019.

Terlepas dari itu kita melihat dengan adanya ketentuan baru (Presidential threshold) ini dirasa akan memundurkan nilai demokrasi bangsa. Karena pada hakikatnya secara kontitusional semua warga negara  yang memenuhi persyaratan  dan memenuhi ketentuan pasal 6 UUD 1945 berhak untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Selain itu adanya Presidential threshold akan sangat merugikan partai-partai dengan persentase suara kecil. Dan  hal yang lebih penting lagi Presidential threshold itu dapat mereduksi sistem presidential itu sendiri,akibat adanya manuver-manuver politik yang dilakukan partai pengusung presiden dan wakil presiden tersebut