Presidential
threshold untuk kepentingan siapa?
Setelah proses
persidangan yang begitu alot dan melelahkan , mulai sejak kamis (20/7)
siang,RUU pemilu 2019 akhirnya di ketok palu pada jumat dini hari (21/7) oleh
Setya Novanto. Setya mengambil alih sidang karena Wakil ketua DPR Fadli Zon
yang semula memimpin sidang ikut keluar ruang sidang . Fadli keluar dari ruang
sidang karena fraksinya ,Gerindra memilih untuk walk out . Selain Gerindra Ada beberapa fraksi antara lain
PAN,Demokrat,dan PKS yang memilih untuk walk out dari ruang sidang. Keempat
fraksi tersebut tidak sepakat dengan opsi voting mengenai isu krusial ambang
batas presiden (presidential
treshold).Dari 539 anggota DPR ,322 menyetujui Rancangan Undang-Undang
tersebut , dan sisanya 217 anggota tidak menyetujui RUU tersebut .
Hal yang paling
mendasar yang menjadi perdebatan di dalam RUU ini adalah adanya ambang batas
pencalonan presiden. Dalam pasal 190 RUU pemilu tersebut disebutkan bahwa
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) dari suara sah nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya. “
selain itu pada pasal 191 ayat (2)
menyebutkan bahwa “Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai
Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.”
kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 6A ayat (2) yang mengatur ketentuan
pasangan pasangan calon presiden diajukan oleh partai politik (parpol) atau
gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.Artinya , semua
peserta pemilu boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden nya . Selain
itu , berdasarkan putusan MK 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa pemilu 2019 akan
dilaksanakan secara serentak yakni
pemilu legislatif dan eksekutif. Dari kedua dasar hukum tadi jelas bahwa Presidential threshold tidak tepat untuk pelaksanaan pemilu 2019.
Jika dilihat dari peta
partai politik indonesia , saat ini ada
koalisi besar yakni PDIP,Golkar, PPP,
Hanura,PKB, dan Nasdem. Berdasarkan hasil pemilu 2014 PDIP mendapat 18,95 %
suara nasional, diikuti oleh Golkar 14,75 % , PPP 6,53 %,Hanura 5,26 %, PKB
9,04 % dan Nasdem 6,72. Jika dijumlahkan maka persentasenya adalah 61,25 % .
Hal ini telah jauh melampaui syarat 25 % suara nasional.sedangkan sisanya partai Gerindra dengan perolehan suara nasional 11,81 %
disusul oleh Demokrat 10,19 %, PAN 7,59 % , PKS 6,79 % . Selain itu partai
peserta Pemilu 2014 yang tidak memiliki kursi di DPR yakni PBB dengan perolehan suara 1,46 dan PKPI
dengan jumlah perolehan suara nasional adalah 0,91. Masing- masing partai
tersebut belum menyatakan sikapnya , apakah ingin berkoalisi atau tidak. Dengan
jabaran peta kekuatan politik ini jelaslah bahwa hampir tidak mungkin partai
politik untuk beroposisi. Hal ini sangat disayangkan , apalagi belum tentu semua partai politik diluar koalisi PDIP,Golkar, PPP, Hanura,PKB, dan Nasdem, mau
untuk melakukan koalisi. Hal ini didasarkan kepada agenda, tujuan , dan
kepentingan masing-masing partai politik
di pemilu 2019 nanti. Tidak menutup kemungkinan terjadinya calon
tunggal pemilu presiden 2019.
Terlepas dari itu kita
melihat dengan adanya ketentuan baru (Presidential threshold) ini dirasa akan
memundurkan nilai demokrasi bangsa. Karena pada hakikatnya secara kontitusional
semua warga negara yang memenuhi
persyaratan dan memenuhi ketentuan pasal
6 UUD 1945 berhak untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Selain itu adanya Presidential threshold akan sangat
merugikan partai-partai dengan persentase suara kecil. Dan hal yang lebih penting lagi Presidential threshold itu dapat
mereduksi sistem presidential itu sendiri,akibat adanya manuver-manuver politik
yang dilakukan partai pengusung presiden dan wakil presiden tersebut