Senin, 03 Desember 2018

METAMORF BAND


Metamorf adalah band yang berasal dari kota Bukittinggi Sumatera barat. Band ini dibentuk sekitar tahun 2012 . Band ini sempat berganti nama menjadi Amorf . Pada bulan Juni 2018 resmi berganti nama kembali menjadi Metamorf. Band ini beranggotakan :
Iqbal : lead gitar 
Oji : vokal
Adis : keyboard
Irvan : Gitar
Hafiz : Gitar 
Jefri : Drum 
Aan : Bass
Saat ini metamorf telah merilis singel perdananya berjudul percayalah. Lagu tersebut sudah bisa dinikmati di online music store seperti Spotify, i Times, google play, YouTube dll.


Sabtu, 15 September 2018

CESCR BAHASA INDONESIA

KOVENAN INTERNASIONAL
HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI)
tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan,
ratifikasi, dan aksesi
MUKADIMAH
Negara-Negara Pihak dalam Kovenan ini,
Menimbang bahwa sesuai dengan asas-asas yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terpisahkan dari semua anggota keluarga manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Mengakui bahwa hak-hak ini berasal dari martabat yang melekat pada manusia,
Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, keadaan ideal dari manusia yang bebas dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemelaratan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya, juga hak-hak sipil dan politiknya.
Menimbang kewajiban Negara-Negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memajukan penghormatan dan pentaatan secara universal pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan.
Menyadari bahwa individu, yang mempunyai kewajiban terhadap individu lainnya dan pada masyarakat di mana ia berada, berkewajiban untuk mengupayakan kemajuan dan pentaatan dari hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini,
Menyetujui pasal-pasal berikut :
BAGIAN I
Pasal 1
1. Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
2. Semua bangsa, uuntuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri.
3. Negara Pihak dalam Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Wilayah Tanpa Pemerintahan dan Wilayah Perwalian, harus memajukan perwujudan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan harus menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
BAGIAN II
Pasal 2
1. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk denagn pengambilan langkah-langkah legislatif.
2. Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun sepertii ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
3. Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak asasi manusia dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada warga negara asing.
Pasal 3
Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini.
Pasal 4
Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa dalam hal pemenuhan hak-hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan Kovenan ini, Negara hanya dapat mengenakan pembatasan hak-hak tersebut sesuai dengan ketentuan hukum, sepanjang hal ini sesuai dengan sifat hak-hak tersebut, dan semata-mata dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pasal 5
1. Tidak ada satu hal pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan hak kepada suatu Negara, perorangan atau kelompok, untuk terlibat dalam suatu kegiatan atau melaksanakan tindakan apapun, yang bertujuan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak-hak tersebut dalam tingkat yang lebih besar daripada yang diperbolehkan dalam Kovenan ini.
2. Tidak satupun pembatasan atau pengurangan hak asasi manusia yang mendasar yang diakui atau berada di negara manapun berdasarkan kekuatan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, akan dapat diterima, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atauu mengakuinya pada tingkat yang lebih rendah.
BAGIAN III
Pasal 6
1. Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini.
2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serrta program-program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan.
Pasal 7
Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, dan khususnya menjamin:
(a) Bayaran yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya :
1. Upah yang adil dan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, khususnya bagi perempuan yang harus dijamin kondisi kerja yang tidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
2. Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Kovenan ini;
(b) Kondisi kerja yang aman dan sehat;
(c) Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan.
(d) Istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan berkala dengan gaji maupun imbalan-imbalan lain pada hari libur umum.
Pasal 8
1. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin:
a) Hak setiap orang untuk membentuk serikat pekerja dan bergabung dalam serikat pekerja pilihannya sendiri, berdasarkan peraturan organisasi yang bersangkutan, demi memajukan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialnya. Pembatasan dalam pelaksanaan hak ini tidak diperbolehkan kecuali yang ditentukan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak -hak dan kebebasan-kebebasan orang lain;
b) Hak setiap pekerja untuk membentuk federasi-federasi atau konfederasi-konfederasi nasional dan hak konfederasi nasional untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi serikat pekerja internasional;
c) Hak serikat pekerja untuk bertindak secara bebas, yang tidak dapat dikenai pembatasan-pembatasan apapun selain yang ditentukan oleh hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau untuk perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain;
d) Hak untuk melakukan pemogokan, asalkan pelaksanaannya sesuai dengan hukum negara yang bersangkutan;
2. Pasal ini tidak menghalangi dikenakannya pembatasan-pembatasan yang sah dalam pelaksanaan hak-hak tersebut di atas, oleh anggota-anggota angkatan bersenjata atau kepolisian atau penyelenggara suatu Negara.
3. Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang memberi kewenangan pada Negara-Negara Pihak dalam "Konvensi Internasional Organisasi Perburuhan Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat" untuk mengambil langkah legislatif atau menerapkan hukum apapun sedemikian rupa yang akan mengurangi jaminan-jaminan yang telah diberikan Konvensi itu.
Pasal 9
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.
Pasal 10
Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa:
1. Perlindungan atas bantuan seluas mungkin harus diberikan kepada keluarga yang merupakan kelompok alamiah dan mendasar dari satuan masyarakat, terutama terhadap pembentukannya, dan sementara itu keluarga bertanggung jawab atas perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih dalam tanggungan. Perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan persetujuan yang sukarela dari calon mempelai.
2. Perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan. Selama jangka waktu itu para ibu yang bekerja harus diberrikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai.
3. Langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan bantuan harus diberikan untuk kepentingan semua anak dan remaja, tanpa diskriminasi apapun berdasarkan keturunan atau keadaan-keadaan lain. Anak-anak dan remaja harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan sosial. Pemanfaatan mereka dalam pekerjaan yang merrugikan moral atau kesehatan, atauu yang membahayakan kehidupan mereka, atau yang sangat mungkin menghambat perkembangan mereka secara wajar, harus dikenai sanksi hukum. Negara-negara juga harus menetapkan batas umur di mana mempekerjakan anak di bawah umur tersebut dengan imbalan, harus dilarang dan dikenai sanksi hukum.
Pasal 11
1. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.
2. Negara Pihak pada Kovenan ini, dengan mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan, baik secara individual maupun melalui kerjasama internasional, harus mengambil langkah-langkah termasuk program-program khusus yang diperlukan untuk;
a) Meningkatkan cara-cara produksi, konservasi dan distribusi pangan, dengan sepenuhnya memanfaatkan pengetahuan teknik dan ilmu pengetahuan, melalui penyebarluasan pengetahuan tentang asas-asas ilmu gizi, dan dengan mengembangkan atau memperbaiki sistem pertanian sedemikian rupa, sehingga mencapai suatu perkembangan dan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien;
b) Memastikan distribusi pasokan pangan dunia yang adil yang sesuai kebutuhan, dengan memperhitungkan masalah-masalah Negara-negara pengimpor dan pengekspor pangan.
Pasal 12
1. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.
2. Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan:
a) Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;
b) Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;
c) Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan;
d) Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.
Pasal 13
1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.
2. Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:
a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang;
b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap;
d) Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka;
e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki.
3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali yang sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidkan sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh negara yang bersangkutan, dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.
4. Tidak satupun ketentuan dalam Pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembenaran untuk mencampuri kebebasan individu dan badan-badan untuk mendirikan dan mengurus lembaga-lembaga pendidikan sepanjang prinsip-prinsip yang dikemukakan ayat 1 Pasal ini selalu diindahkan, dan dengan syarat bahwa pendidikan yang diberikan dalam lembaga-lembaga itu memenuhi standar minimum yang ditetapkan oleh Negara.
Pasal 14
Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang pada saat menjadi Pihak belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cuma-cuma di wilayah perkotaan atau wilayah lain di bawah yurisdiksinya, harus berusaha dalam jangka waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci untuk diterapkan secara progresif, dan
dalam beberapa tahun yang layak harus melaksanakan prinsip wajib belajar dengan cuma-cuma bagi semua orang, yang harus dimasukkan dalam rencana kegiatan tersebut.
Pasal 15
1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang:
a) Untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya;
b) Untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya;
c) Untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya.
2. Langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi pula langkah-langkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
3. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan yang mutlak diperlukan untuk penelitian ilmiah dan kegiatan yang kreatif.
4. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui manfaat yang akan diperoleh dari pemajuan dan pengembangan hubungan dan kerjasama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
BAGIAN IV
Pasal 16
1. Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji, sesuai dengan bagian dari Kovenan ini, untuk menyampaikan laporan mengenai langkah-langkah yang telah diambil, dan kemajuan yang telah dicapai dalam pematuhan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.
a) Semua laporan harus disampaikan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan menyampaikan salinan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial, untuk dipertimbangkan sesuai ketentuan Kovenan ini;
b) Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa juga harus menyampaikan salinan laporan atau bagian laporan yang relevan dari Negara-negara Pihak kovenan ini yang juga adalah anggota dari Badan Khusus, kepada Badan-Badan Khusus tersebut sepanjang laporan-laporan tersebut atau bagian darinya berhubungan dengan masalah-masalah yang menjadi kewenangan dari Badan Khusus tersebut sesuai dengan instrumen konstitusinya.
Pasal 17
1. Negara Pihak pada Kovenan ini harus memberikan laporan mereka secara bertahap, sesuai dengan program yang ditetapkan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dalam jangka waktu satu tahun sejak Kovenan ini mulai berlaku, setelah berkonsultasi dengan Negara Pihak dan Badan Khusus yang bersangkutan.
2. Laporan demikian dapat menunjukkan faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban-kewajiban dalam Kovenan ini.
3. Apabila sebelumnya telah diberikan informasi yang relevan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa atau pada suatu Badan Khusus oleh Negara Pihak pada Kovenan ini, maka informasi tersebut tidak lagi perrlu diberikan, tetapi cukup dengan merujuk secara jelas pada informasi yang pernah diberikannya tersebut.
Pasal 18
Sesuai dengan tanggung jawabnya menurut Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar, Dewan Ekonomi dan Sosial bersama-sama dengan Badan-badan Khusus dapat menyusun laporan tentang kemajuan yang dicapai dalam mematuhi ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini dalam hal-hal yang termasuk dalam ruang lingkup kegiatan mereka. Laporan-laporan ini dapat mencakup hal-hal khusus dari keputusan dan rekomendasi terhadap penerapan tersebut yang telah disetujui oleh organ-organ yang berwenang.
Pasal 19
Dewan Ekonomi dan Sosial dapat menyampaikan pada Komisi Hak Asasi Manusia, laporan-laporan mengenai hak asasi manusia yang disampaikan oleh Negara-negara Pihak sesuai dengan Pasal 16 dan 17, dan laporan-laporan mengenai hak asasi manusia yang disampaikan oleh Badan-Badan Khusus sesuai dengan Pasal 18, untuk dipelajari dan diberikan rekomendasi umum, atau sekedar untuk informasi belaka.
Pasal 20
Negara Pihak pada Kovenan ini dan Badan-badan Khusus yang terkait, dapat menyampaikan tanggapan-tanggapan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial tentang rekomendasi sesuai dengan Pasal 19, atau mengenai rujukan terhadap rekomendasi umum tersebut, dalam setiap laporan Komisi Hak Asasi Manusia atau dokumen yang dirujuk di dalamnya.
Pasal 21
Dewan Ekonomi dan Sosial dari waktu ke waktu dapat menyampaikan kepada Majelis Umum Perserikatan bangsa-bangsa, dan ringkasan dari informasi yang diterima dari Negara Pihak pada Kovenan ini dan Badan-Badan Khusus, tentang langkah-langkah yang telah diambil dan kemajuan yang dibuat yang telah dicapai dalam mematuhi hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini.
Pasal 22
Dewan Ekonomi dan Sosial dapat meminta perhatian badan-bandan Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya, badan perlengkapan dan Badan-badan Khusus yang bersangkutan untuk memberikan bantuan teknis, tentang hal-hal yang timbul dari laporan-laporan yang diatur dalam bagian ini, yang dapat membantu badan-badan tersebut dalam memutuskan kelayakan
langkah-langkah internasional yang dapat mendukung penerapan Kovenan ini secara bertahap dan efektif, sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pasal 23
Negara Pihak pada Kovenan ini setuju bahwa tindakan internasional untuk pemenuhan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini mencakup metode-metode seperti penandatanganan konvensi, penetapan rekomendasi, pemberian bantuan teknis serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan regional dan pertemuan teknis untuk keperluan konsultasi dan pengkajian, yang dilakukan bersama dengan Pemerintah-pemerintah yang bersangkutan.
Pasal 24
Tidak ada satu hal pun ketentuan dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga mengurangi ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi dari Badan-badan Khusus yang menetapkan atas tanggung jawab masing-masing badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Badan Khususnya, berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini.
Pasal 25
Tidak ada satu hal pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sehingga mengurang hak-hak yang melekat dari semua bangsa untuk menikmati dan memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alam mereka secara bebas dan penuh.
BAGIAN V
Pasal 26
1. Kovenan ini terbuka untuk ditandatangani oleh setiap Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau anggota dari Badan-badan Khususnya, oleh Negara Pihak pada Statuta Mahkamah Internasional dan oleh Negara lainnya yang telah diundang oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjadi Pihak pada Kovenan ini.
2. Kovenan ini harus diratifikasi. Semua instrumen ratifikasi harus diserahkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.
3. Kovenan ini terbuka untuk diaksesi oleh Negara dengan merujuk pada ayat 1 Pasal ini.
4. Aksesi akan berlaku denagn diserahkannya instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk disimpan.
5. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus memberitahukan kepada semua Negara yang telah menandatangani Kovenan ini atau yang telah melakukan aksesi, mengenai penyimpanan setiap instrumen ratifikasi atau aksesi.
Pasal 27
1. Kovenan ini mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal diserahkannya instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi yang ketiga puluh lima untuk disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. Untuk setiap Negara yang meratifikasi atau melakukan aksesi atas Kovenan ini setelah disimpannya instrumen ratifikasi atau aksesi yang ketiga puluh lima, Kovenan ini akan mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal disimpannya instrumen ratifikasi atau aksesi tersebut.
Pasal 28
Ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini berlaku bagi semua bagian dari Negara-negara federal tanpa pembatasan atau pengecualian.
Pasal 29
1. Negara Pihak pada Kovenan ini dapat mengusulkan perubahan dan menyampaikannya pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekretaris Jenderal harus memberitahukan setiap usulan perubahan tersebut kepada semua negara Pihak, dengan permintaan untuk memberitahukan padanya apakah mereka setuju diadakan Konferensi Negara-negara Pihak untuk membahas dan melakukan pemungutan suara terhadap usulan tersebut. Dalam hal sekurang-kurangnya sepertiga dari Negara Pihak menyetujui diadakannya konferensi, Sekretaris Jenderal akan menyelenggarakan konferensi dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perubahan yang ditetapkan oleh mayoritas Negara Pihak yang hadir dan yang memberikan suara pada konferensi, harus disampaikan pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapat persetujuan.
2. Perubahan-perubahan mulai berlaku apabila disetujui oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan diterima oleh dua pertiga mayoritas Negara-negara Pihak Kovenan ini sesuai dengan prosedur konstitusi masing-masing.
3. Apabila perubahan-perubahan telah berlaku, maka perubahan-perubahan tersebut akan mengikat Negara-negara Pihak yang telah menerimanya, sedang negara Pihak lainnya masih tetap terikat pada ketentuan-ketentuan Kovenan ini dan perubahan-perubahan terdahulu yang telah mereka terima.
Pasal 30
Tanpa mengindahkan pemberitahuan yang dibuat menurut Pasal 26 ayat 5, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyampaikan semua Negara yang dimaksud dalam ayat 1 dari Pasal tersebut hal-hal sebagai berikut;
a) Penandatangan, ratifikasi dan aksesi sesuai dengan Pasal 26;
b) Tanggal mulai berlakunya Kovenan ini sesuai dengan Pasal 27, dan tanggal mulai berlakunya perubahan-perubahan sesuai dengan Pasal 29.
Pasal 31
1. Teks Kovenan ini yang dibuat dalam bahasa Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol, mempunyai kekuatan yang sama, akan disimpan pada arsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyampaikan salinan resmi dari Kovenan ini pada semua Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.

Pengadaan tanah

PENGADAAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang………………………………………………………………………………..5
2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………6
3. Tujuan……………………………………………………………………………………………6
4. Metode Pembahasan………………………………………………………………………..6
5. Manfaat………………………………………………………………………………………….6
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Pengadaan Tanah……………………………………………………………7
A. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum……………………………….8
B. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Swasta………………………………10
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah………………………………………………………15
3. Pokok-Pokok Kebijakan Pengadaan Tanah……………………………………….21
4. Pembebasan Hak dan Pencabutan Hak atas Tanah……………………………..21
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan………………………………………………………………………………23
2. Saran……………………………………………………………………………………….23
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………..24
BAB I
PENDAHULUAN
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda – benda yang berkaitan dengan tanah. Pengadaan tanah dapat dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Dalam hal pengadaan tanah oleh pihak swasta, maka cara – cara yang dilakukan adalah melalui jual – beli, tukar – menukar, atau cara lain yang disepakati oleh pihak – pihak yang bersangkutan, yang dapat dilakukan secara langsung antara pihak yang berkepentingan (misalnya: antara pengembang dengan pemegang hak) dengan pemberian ganti kerugian yang besar atau jenisnya ditentukan dalam musyawarah.
Sedangkan dalam hal pengadaan tanah oleh pemerintah atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau juga dengan pencabutan hak atas tanah.
Pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dengan tujuan memperoleh kesepakatan mengenai pelaksanaan pembangunan di lokasi yang ditentukan, beserta bentuk dan besar ganti kerugian.
Proses musyawarah yang dilakukan oleh panitia pembebasan tanah dan pemegang hak ditujukan untuk memastikan bahwa pemegang hak memperoleh ganti kerugian yang layak terhadap tanahnya. Ganti kerugian itu dapat berupa uang, tanah pengganti (ruilslag), pemukiman kembali (relokasi) atau pembangunan fasilitas umum yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Di satu sisi proses pengadaan tanah bukanlah hal yang mudah dan sederhana, untuk itu diperlukan tim pengadaan tanah.
Untuk mengetahui materi lanjutan mengenai teori Pengadaan Tanah, maka kami kelompok III menyusun makalah ini. Semoga dapat berguna bagi mahasiswa-mahasiswi fakultas hukum Universitas Riau.
1. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu faktor penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Manusia hidup dan melakukan berbagai aktivitas kesehariannya di atas tanah serta memperoleh bahan pangan dengan memanfaatkan tanah. Bahkan bagi Negara Indonesia tanah merupakan salah satu modal utama bagi kelancaran pembangunan. Tanah mempunyai manfaat bagi pemilik atau pemakainya, sumber daya tanah mempunyai harapan di masa depan untuk menghasilkan pendapatan dan kepuasan serta mempunyai nilai produksi dan jasa. Komponen penting kedua adalah kurangnya supply, maksudnya di satu pihak tanah berharga sangat tinggi karena permintaannya, tapi di lain pihak jumlah tanah tidak sesuai dengan penawarannya. Komponen ketiga adalah tanah mempunyai nilai ekonomi, suatu barang (dalam hal ini tanah) harus layak untuk dimiliki dan ditransfer. Tanah merupakan harta kekayaan yang bernilai tinggi karena nilai jualnya yang akan selalu bertambah akibat kebutuhan terhadap tanah yang semakin tinggi sedangkan jumlah tanah tidak pernah bertambah. Disadari atau tidak, tanah sebagai benda yang bersifat permanen (tidak dapat bertambah) banyak menimbulkan masalah jika dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan masalah pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan pemerintah telah berusaha melalui jalur yang sah yakni pengadaan tanah maupun pencabutan hak atas tanah. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pelaksanaan pengadaan tanah merupakan persoalan yang kompleks karena terdapat berbagai tahapan dan proses yang harus dilalui serta adanya kepentingan pihak-pihak yang saling bertentangan. Persoalan perolehan tanah milik masyarakat untuk keperluan pembangunan guna kepentingan umum menjadi suatu persoalan yang cukup rumit. Kebutuhan tanah baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang terus bertambah tanpa diikuti dengan pertambahan luas lahan menjadi masalah yang krusial. Masalah timbul karena adanya berbagai bentrokan kepentingan. Di satu sisi pemerintah membutuhkan lahan untuk pembangunan fisik, di sisi lain masyarakat membutuhkan lahan untuk pemukiman maupun sebagai sumber mata pencaharian. Untuk mengetahui arti penting mengenai Pengadaan Tanah maka disusunlah makalah ini.
2. Rumusan Masalah
Permasalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Pengertian Pengadaan Tanah
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
3. Pokok-Pokok Kebijakan Pengadaan Tanah
4. Perbedaan Pembebasan Hak dan Pencabutan Hak atas Tanah
3. Tujuan
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan seluruh mahasiswa dapat mengetahui dan memahami jawaban dari rumusan masalah yang dipaparkan dalam makalah ini.
4. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam membahas makalah ini adalah dengan membahas persub judul, seperti yang telah dituliskan dalam rumusan masalah, yaitu terdapat empat (4) masalah yang akan dibahas satu-persatu.
5. Manfaat
Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memberikan masukan dan supan ilmu kepada mahasiswa mengenai apa yang dimaksud dengan pengadaan tanah
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang menjadi landasan hukum pengadaan tanah tersebut.
3. Mahasiswa mengetahui landasan pokok-pokok kebijakan pengadaan tanah.
4. Memahami apa yang dimaksud dengan pembebasan hak atas tanah dan perbedaannya dengan pelepasan hak atas tanah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PENGADAAN TANAH
Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres No.55/1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.1
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian.
Menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.36/2005 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.2
Dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut PerpresNo.36/2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65/2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.3
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut Perpres No.65/2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.
1,2,3 Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Penerbit Djambatan
A. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasannya.4
Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.5
Jenis-jenis pembangunan untuk kepentingan umum adalah sebagai berikut: 6
1) Jalan umum, saluran pembuangan air;
2) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
3) Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
4) Pelabuhan atau Bandara atau Terminal;
5) Peribadatan;
6) Pendidikan atau sekolahan;
7) Pasar Umum atau Pasar INPRES;
8) Fasilitas Pemakaman Umum;
9) Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar;
10) Pos dan Telekomunikasi;
11) Sarana Olah Raga;
12) Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya;
13) Kantor Pemerintah;
14) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Selanjutnya pasal tersebut di atas telah mengalami perubahan yaitu dengan diterbitkannya Perpres RI No. 65 Tahun 2006. Pasal 5 Perpres RI No. 65 Tahun 2006 menyebutkan pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh pemerintah atau pemerintah daerah, meliputi :
a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, atau pun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain bencana;
e) tempat pembuangan sampah ;
f) cagar alam dan budaya;
g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
B. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Swasta
Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta adalah kepentingan yang diperuntukkan memperoleh keuntungan semata, sehingga peruntukan dan kemanfaatannya hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu bukan masyarakat luas. Sebagai contoh untuk perumahan elit, kawasan industri, pariwisata, lapangan golf dan peruntukan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata. Jadi tidak semua orang bisa memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut, melainkan hanya orang-orang yang berkepentingan saja.
4 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta :Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), Hal. 6
5John Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar Grafika,1988), Hal. 40
6 Keppres No. 55/1993
 Jenis-jenis dan Bentuk Ganti Kerugian
Menurut Pasal 13 Perpres No.65/2006, bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah:
a) Uang
b) tanah pengganti;
c) pemukiman kembali;
d) gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e) bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan
 Panitia Pengadaan Tanah
Dalam Pasal 6 ayat (5) Perpres No.65/2006, mengenai panitia pengadaan tanah, dinyatakan bahwa:
1) “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
2) Panitia pengadaan tanah propinsi daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah propinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah propinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsurPemerintah Daerah terkait.
5) Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional.”
Dalam Pasal 7 Perpres No.65/2006, dinyatakan: “Panitia pengadaan tanah bertugas:
1) Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
2) Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya
3) Menetapkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan
4) Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut
5) Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
6) Menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah
7) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
8) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.”
 Prosedur/Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Dengan berlakunya Perpres No.65/2006, maka ada perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 2 Perpres No.65/2006 menyatakan bahwa:
1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut PerpresNo.65/2006, bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilakukan oleh pihak swasta, maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
 Panitia Pengadaan Tanah
Keberhasilan atau kekacauan serta penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan pengadaan tanah juga sangat bergantung pada Panitia Pengadaan Tanah. Secara garis besar, peran dan kedudukan Panitia Pengadaan Tanah dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Namun ada perbedaan dalam kesan independensi Panitia Pengadaan Tanah menurut Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden.
Peraturan Presiden menyebutkan bahwa musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah bersama Panitia, dan instansi pemerintah atau pemerintah daerah. Hal ini mengesankan Panitia Pengadaan Tanah merupakan partisipan dalam musyawarah. Sedangkan dalam Keputusan Presiden disebutkan bahwa musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah bersangkutan dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Hal ini mengesankan Panitia Pengadaan Tanah lebih independen. Ke depannya Panitia Pengadaan Tanah harus berperan sebagai fasilitator yang independen.
 Penetapan Ganti Rugi
Peraturan Presiden tidak menjabarkan lebih lanjut bentuk ganti kerugian non-fisik. Kerugian yang bersifat non-fisik meliputi hilangnya pekerjaan, bidang usaha, sumber penghasilan, dan sumber pendapatan lain yang berdampak terhadap penurunan tingkat kesejahteraan seseorang. Ganti rugi non-fisik bersifat komplementer terhadap ganti rugi yang bersifat fisik. Ganti rugi yang bersifat adil adalah apabila keadaan setelah pengambilalihan paling tidak setara dengan keadaan sebelumnya, di samping itu ada jaminan terhadap kelangsungan hidup mereka yang tergusur. Peraturan Presiden yang mengatur pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang berlaku saat ini belum mengakomodir hal tersebut.
2. DASAR HUKUM PENGADAAN TANAH
Sebelum berlakunya Keppres No.55/Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, maka landasan yuridis yang digunakan dalam pengadaan tanah adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15/1975.
Sebelum Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 ditetapkan, belum ada definisi yang jelas tentang kepentingan umum yang baku. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasnya.7
Kepentingan dalam arti luas diartikan sebagai “public benefit” sedangkan dalam arti sempit public use diartikan sebagai public access, atau apabila public access tidak dimungkinkan, maka cukup “if the entire public could use the product of the facility”.8
Pelaksanaan pengadaan tanah dalam PMDN Nomor. 15 Tahun 1975 dalam pengadaan tanah dikenal istilah pembebasan tanah, yang berarti melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang atau penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Sedangkan didalam pasal 1 butir 2 Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa :“pelepasan atau penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah”.
Setelah berlakunya Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 istilah tersebut berubah menjadi pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah. Oleh karena itu, segi-segi hukum materiilnya pelaksanaan pelepasan hak atau pelepasan hak atas tanah pada dasarnya sama dengan pembebasan tanah yaitu Hukum Perdata.
Dengan perkataan lain bahwa keabsahan atau ketidak absahan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai cara pengadaan tanah ditentukan ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang berarti sah tidaknya perbuatan hukum yang bersangkutan, berlaku antara lain syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Perbedaannya yaitu pembebasan tanah pada umumnya berdasarkan pada PMDN Nomor. 15 Tahun 1975, sedangkan pelepasan atau penyerahan hak-hak atas tanah berdasarkan Keppres Nomor. 55 Tahun 1993. Secara hukum kedudukuan Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 sama dengan PMDN Nomor. 15 Tahun 1975, yaitu sebagai peraturan dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang didalamnya mengatur mengenai ketentuan-ketentuan mengenai tata cara untuk memperoleh tanah dan pejabat yang berwenang dalam hal tersebut.
Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya yaitu PMDN Nomor. 15 Tahun 1975 yang memiliki kekurangan atau kelemahan khususnya hal-hal yang mengenai pihak-pihak yang boleh melakukan pembebasan tanah, dasar perhitungan ganti rugi yang didasarkan pada harga dasar, tidak adanya penyelesaian akhir apabila terjadi sengketa dalam pembebasan tanah, khususnya mengenai tidak tercapainya kesepakatan tentang pemberian ganti rugi.
Oleh sebab itu kedudukan Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 sama dengan PMDN Nomor. 15 Tahun 1975 sebagai dasar hukum formal dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang pada waktu berlakunya PMDN No. 15/1975 disebut pembebasan tanah. Namun seiring berjalannya waktu Keppres No. 55/1993 kemudian digantikan dengan Peraturan baru dengan tujuan mencari jalan untuk meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul dalam implementasi pengadaan tanah menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan umum.
Perbedaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15/1975, Keppres Nomor. 55 Tahun 1993, dengan Perpres No. 36/2005
a) Dalam PMDN No. 15/1975 tidak dikenal adanya istilah pengadaan tanah melainkan pembebasan tanah. Menurut pasal 1 ayat (1) PMDN No. 15/1975 yang dimaksud pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. PMDN No. 15/1975 juga mengatur pelaksanaan atau tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta. Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk panitia pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam pasal 2 PMDN No. 15/1975 untuk kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus pemerintah hanya mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara para pihak yaitu pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang mempunyai tanah.
b) Dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres No. 55/1993 menyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu pertama pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual beli, tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum sebagaimana yang diatur dalam Keppres No. 55/1993, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah yang dilaksanakan selain bagi kepentingan umum. Menurut pasal 6 ayat (1) Keppres No. 55/1993, menyatakan bahwa : “pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “panitia pengadaan tanah” dibentuk disetiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat II”.
c) Dengan berlakunya Perpres No. 36/2005 ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum, meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres No. 55/1993. Menurut pasal 2 ayat (1) Perpres No. 36/2005 menyatakan bahwa :
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingann umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah.
Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa :
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres No. 36/2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar atau dengan cara lain yang disepakati secara sukarela dengan pihak-pihak yang bersangkutan.
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya yang tidak membedakan secara tegas mengenai tata cara pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum, maupun bukan kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta sehingga dalam ketentuan ini mempeerjelas aturan pelaksaan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun swasta.
7Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), Hlm. 6.
8Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, (Jakarta: Kompas, 2008), hlm.200.
Kekhawatiran masyarakat atas pelaksanaan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 adalah akan terjadinya pengambilalihan tanah masyarakat atas nama kepentingan umum tetapi penggunaannya untuk kegitan yang berorientasi pada bisnis dan keuntungan pebisnis. Padahal tanah rakyat dibebaskan dengan pembayaran ganti yang rendah, sehingga mengecewakan masyarakat. Praktik-praktik seperti ini banyak terjadi di masa-masa yang lalu, “meskipun telah ada Keppres No 55 tahun 1993 yang membatasi bahwa pembangunan kepentingan umum yang dimaksud adalah kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Apalagi Perpres yang baru tidak ada pembatasan seperti ini, sehingga dikhawatirkan pembebasan tanah secara semena-mena dapat dilakukan kendati untuk kegiatan pembangunan yang bersifat mencari keuntungan”.
Atas desakan dari DPR dan masyarakat mengenai kontroversi PerpresNo.36 Tahun 2005 maka presiden pada tanggal 5 Juni 2006 mengeluarkan Peraturan presiden nomor 65 tahun 2006 Peraturan Presiden Perubahan atas Perpres No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum .beberapa pasal di rubah adalah penghapusan kata “pencabutan hak atas tanah” dalam Pasal 1 Angka 3, Pasal 2, dan Pasal 3 karena meluruskan kerancuan antara konsep penyerahan atau pelepasan hak atas tanah dengan pencabutan hak atas tanah. Serta perubahan ketentuan pasal 5 yang menjelaskan tentang kriteria kegiatan yang dapat di katakan dari kepentingan umum sehingga ketentuan obyek kepentingan umum menurut pasal 5 meliputi :
1. Jalan umum dan jalan tol, Rel Kereta Api (di atas tanah, diruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitas
2. Waduk, Bendungan, Bendungan irigasi dan bangunanpengairan lainnya;
3. Pelabuhan, Bandar udara, Stasiun Kereta Api, dan Terminal;
4. Fasilitas keselamatanumum,seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lainbencana;
5. Tempat pembuangan sampah;
6. Cagar alam dan cagar budaya;
7. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 ini sebagai suatu peraturan yang relatif baru, maka perlu sekali dilakukan penelitian, sejauh mana perpres tersebut dilaksanakan dalam praktek .proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum.
Sebagai ketentuan pelaksana Perpres pengadaan tanah ini, maka pada tanggal 21 Mei 2007 diterbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Ka. BPN) No. 3 Tahun 2007, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
3. POKOK-POKOK KEBIJAKAN PENGADAAN TANAH
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993, beberapa pokok kebijakan dalam pengadaan tanah, adalah sebagai berikut :
1. Pengadaan tanah oleh pemerintah dilakasanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan hak atas tanah.
3. Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah dapat dilakukan apabila penetapan rencana pembangunan tersebut sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) yang telah disetujui atau ditetapkan, bagi daerah yang belum menetapkan RUTR, pengadaan tanah dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang ada.
4. PERBEDAAN ANTARA PEMBEBASAN HAK DAN PENCABUTAN HAK ATAS TANAH
Pembebasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
Pembebasan hak atas tanah adalah melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Semua hak atas tanah dapat diserahkan secara sukarela kepada Negara. Penyerahan sukarela ini yang disebut dengan melepaskan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 UUPA, yang menyatakan bahwa: “Hak milik hapus bila:
a. tanahnya jatuh kepada Negara:
1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3. karena diterlantarkan
4. karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan 26 ayat 2
b. tanahnya musnah.”
Acara pelepasan hak atas tanah dapat digunakan untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta. Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambilalihan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum.9
Dengan demikian, pencabutan hak atas tanah merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah hak yang diperlukan bagi pembangunan untuk kepentingan umum setelah berbagai cara melalui musyawarah tidak berhasil. Dasar hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa: ”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang” “Undang-undang” yang dimaksud dalam Pasal 18 tersebut adalah UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, dengan peraturan pelaksanaan yaitu PP No. 39/1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, dan Inpres No. 9/1973 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 ini merupakan pelaksanaan dari asas dalam Pasal 6 UUPA yaitu bahwa hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
9 Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), Hal. 38
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Namun dalam praktiknya ketentuan ini banyak menimbulkan masalah sehingga tidak dapat berjalan dengan efektif. Kemudian pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, sebagaimana dicabut dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 mengenai pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, yang kemudian direvisi oleh Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Berbagai masalah yang terdapat dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum telah coba diminimalisir melalui peraturan-peraturan tersebut. Meskipun telah diadakan perubahan-perubahan untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat, namun tetap saja ada beberapa permasalahan yuridis dalam peraturan perundang-undangan tersebut yang luput dari perhatian penyusun peraturan perundang-undangan, yaitu meliputi aspek yuridis formal dan aspek yuridis materiil.
2. SARAN
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan mengambil tanah milik masyarakat umum sangat berkaitan erat dengan masalah Hak Asasi Manusia, maka seharusnya pengaturannya segera dimuat di dalam Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA
Soimin, Sudaryo. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta:Sinar Grafika
Abdurrahman. 1980. Himpunan Yurisprudensi Hukum Agraria. Bandung:Penerbit Alumni

Rangkuman materi kuliah kriminologi



Tujuan kriminologi :
1.Memberikan saran dalam pembuatan Rencana Undang-undang (hukum pidana)
2.Untuk memperbaharui pandangan hukum pidana terhadap masalah kejahatan dalam masyarakat dengan jalan memperhatikan catatan-catatan tertentu tentang kejahatan hukum adat
3.Untuk memperlihatkan bahwa kejahatan sangat mahal
4.Untuk menghindari rasa benci yang negatif atau rasa simpati yang tidak sehat/tidak positif pada pelaku kejahatan

BAB I. PENDAHULUAN
Kriminologi berasal dari istilah:
- crimino, crimen, crime yaitu kejahatan
- logos yaitu pengetahuan
Sehingga: Kriminologi berarti: Suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab –sebab kejahatan,pelaku kejahatan dan cara menanggulangi kejahatan

Manfaat kriminologi
1.Salah satu dasar /latar belakang ilmu untuk profesi dan pekerja sosial dapat menggunakan kriminologi dalam menaggulangi masalah masyarakat yang ditangani
2.Untuk menghindarkan rasa benci atau rasa simpati yang tidak positif/tidak sehat pada pelaku kejahatan
3.Manfaat lain baik bagi pribdi, masyarakat maupun ilmu pngetahuan sendiri

Ruang lingkup kriminologi
1. Mempelajari manusia sebagai pelaku kejahatan.
2. Kejahatan sebagai reaksi dari masyarakat.
3. Penanggulangan kejahatan termasuk penegak hukum.

OBJEK KRIMINOLOGI
1. Para sarjana penganut aliran hukum (Yuridis) :
- penjahat itu adalah mereka yang sudah diputuskan oleh pengadilan sebagai penjahat karena  kejahatan yang dilakukannya
- kejahatan adalah perbuatan yang ditetapkan oleh negara dalam hukum pidana dan diancam sanksi
2. Para sarjana penganut aliran non yuridis (sosiologis)
- kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat
3. Pandangan kriminologi baru tentang kejahatan, penjahat dan reaksi masyarakat

- kejahatan perilaku yang menyimpang dengan OBJEK KRIMINOLOGI melihat kondisi-kondisi struktural yang ada dalam masyarakat dan menempatkan perilaku
menyimpang dalam konteks ketidakmerataan kekuasaan, kemakmuran dan otoritas serta kaitannya dengan perubahan-perubahan ekonomi dan politik dalam masyarakat.

HUBUNGAN KRIMINOLOGI DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN
Pembagian ilmu pengetahuan:
1. Ilmu sosial yakni kelompok ilmu pengetahuan yang meneliti hidup manusia seperti ekonoi, antropologi, psikologi, sejaah sosologi
2. Ilmu pengetahuan kerohanian (humaniora) yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari perwujudan spritual kehidupan bersama seperti filsafat, kesenian, agama, ilmu bahasa
3. Ilmu pengetahuan alam yakni kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari alam seperti fisika dan biologi Dari hal diatas terlihat kriminologi termasuk dalam ilmu Sosial, seperti dalam bagan berikut:

SKEMA NOACH
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang membahas kejahatan dan penyelewengan tingkah laku manusia baik sebagai gejala sosial maupun psikologi sehingga dibutuhkan ilmu sosiologi, psikologi, psikiatri, hukum pidana, dan kriminologi sebagai pusat berbatasan dengan Ilmu tersebut
SKEMA SAUER
1. Ilmu pengetahuan alamiah
2. Ilmu pengetahuan sosial
3. Ilmu pengetahuan normatif
4. Kriminologi
SKEMA ANGLO SAXON
1. Kriminologi
2. Sosiologi
3. Sosiografi
KRIMINOLOGI TERBAGI ATAS:
1. Arti luas menyangkut :
- arti sempit (Bonger, Sutherland)
- Kriminalistik
- Penologi ( ilmu yang mempelajari hukuman serta pencegahan dengan cara yang tidak bersifat hukuman)
- Viktmologi ( ilmu yang mempelajari tentang korban kejahatan)
2. Arti luas juga menyangkut:
- Arti sempit :
a. Perbuatan jahat;
- sosiologi kriminil
- psikologi kriminil
b. Gejala kejahatan;
- statistik kriminil
- tipologi kriminil
BONGER
1. Kriminologi teoritis meliputi sosiologi kriminil, antropologi kriminil, neuro patologi kriminil
2. Kriminologi praktis meliputi hygiene kriminil, kriminalistik dan politik kriminal
SUTHERLAND
1. Sosiologi hukum merupakan analisa ilmiah tentang kondisi sosial yang mempengaruhi perkembangan pidana
2. Etiologi kriminal merupakan ilmu yang mempelajari sebab-sebab terjadinya kejahatan
3. Penologi yang mempelajari hukuman
LOUWAGE
Kriminologi dalam arti luas meliputi:
1. Arti sempit
2. Kriminalistik
3. penologi
Kriminologi sebagai body knowledge
1. Manusia secara biologis terdiri dari disiplin ilmu psikologi, psikiatri, endrologi dll
2. Manusia dalam zoon paliticon terdiri dari ilmu sosiologi, antropologi (sosial, budaya) ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu sejarah dll
3. Manusia dalam tatanan norma pergaulan hidup seperti teologi, etika, hukum dll
Menurut Simanjuntak:
1. Ilmu Filsafat untuk meneliti permasalahan kenapa manusia bisa jahat
2. Sosiologi kriminal mempelajari faktor sosial yang menyebabkan timbulnya reaksi masyarakat dan akibat kejahatan
3. Antropologi kriminal mengintrodusir sebab-sebab kejahatan karena kelainan anatimis yang dibawa sejak lahir
4. Psikologi kriminal meneliti penyimpangan jiwa , relasi watak, penyakit dengan bentuk kejahatan serta situasi psikologis yang memotivasi tindakan jahat
5. Penologi membahas timbulnya dan pertumbuhan hukuman artinya hukuman serta faedah hukuman
6. Neuro pathologi kriminal meneliti penyimpangan urat syaraf terhadap timbulnya kejahatan
PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI
1. Periode pra 1830
2. Periode 1830 sampai sekarang terdiri dari:
a. Masa 1830 s/d 1960
b. Masa 1960 sampai sekarang
1. PERIODE MASA PRA 1830
Plato menyebut emas dan manusia adalah penyebab adanya kejahatan, makin tinggi pandangan tentang kekayaan oleh manusia makin merosot penghargaan kesusilaan. Sehingga apabila dalam setiap negara banyak terdapat orang miskin maka akan terdapat bajingan-bajingan, pemerkosa agama dan penjahat dari
A. Plato
berbagai corak. Mengatasinya Plato menyatakan bahwa adanya rasa komunal dalam suatu masyarakat, anggotanya akan berbuat sama dalam hal kebaikan, sehingga yang miskin dan kaya tidak akan ditemui ketakaburan, kezaliman dan rasa iri hati serta benci (pandangan ‘utopi’)
b. Aristoteles
Sedangkan Aristoteles menyatakan kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan, kejahatan terbesar tidak diperbuat untuk hidup
1. PERIODE MASA PRA 1830
tapi untuk kemewahan. Bonger menyimpulkan uraian ahli tersebut berpengaruh dalam lapangan hukuman yaitu hukuman dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar jangan berbuat jahat
2. Masa sesudah 1830 s/d sekarang
A. Masa 1830 sampai 1960
Disebut juga masa kriminologi klasik atau Positivistis (Etiologi Kriminil) karena mengutamakan pendekatan sebab musabab yaitu melihatnya dari diri penjahat untuk menuju sasaran perbaikan atau penanggulangan kejahatan dengan didukung teori dari berbagai disipli ilmu pengetahuan berpendapat bahwa kejahatan dilakukan oleh orang/sekelompok orang karena kondisi yang ada padanya serta lingkungan pergaulan yang mempengaruhinya, sehigga lahirlah aliran bioantropologis, aliran lingkungan dan aliran kombinasi (multiple factor approach)
Sutherland (19120) melalui teori sosiologi menyatakan bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja bukan monopoli orang atau sekelompok dalam kondisi tertentu. Disebabkankejahatan adalah perilaku yang timbul melalui
2. Masa sesudah 1830 s/d sekarang
proses belajar dalam kehidupan sosial tertentu (seperti disorganisasi sosial, mobilitas sosial dan konflik budaya) akan berpengaruh dalam mewarnai timbulnya kejahatan pada masyarakat yang mengalami proses tersebut.

b. Masa 1960-an sampai sekarang
Disebut juga masa kriminologi kritis (Critical Criminology) dimana kejahatan merupakan suatu konstruksi sosial yaitu pada waktu suatu masyarakat menetapkan sejumlah perilaku dan orang dinyatakan sebagai pelaku/penjahatnya.
Kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang secara bebas dan objektif dipelajari para ilmuwan tapi ditentukan oleh masyarakat sehingga kejahatan dan penjahat tergantung waktu dan tempat tertentu
Pendekatan Kriminologi :
1. Pendekatan kriminologi yang mempelajari arti yang diberikan oleh suatu masyarakat pada kejahatan yang terjadi (pendekatan Interaksionis) yaitu upaya dalam mempelajari bagaimana proses diberikannya “label/stigma” kejahatan dan penjahat oleh masyarakat. Proses terjadinya label/stigma melalui pernyataan-pernyataan yang oleh masyarakat terhadap suatu perbuatan tertentu dan begitu pun kepada orang yang melakukan perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang tidak baik/jahat.
2. Pendekatan kriminologi yang menitik beratkan pada masalah (pendekatan konflik) pengertian kejahatan dari aspek power/kekuasaan artinya semakin besar kekuasaan yang dimiliki Pendekatan Kriminologi : maka akan lebih mudah menentukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepentingannya sebagai perilaku yang perlu diancam pidana/kejahatan.
BAB II. KEJAHATAN
A. Pengetian Kejahatan
Kejahatan menurut Kamus Bahasa Indonesia yaitu perilaku yang bertentangan dengan nilainilai dan norma-norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis (huku pidana) Donald R Taft,kejahatan adalah perbuatan yang melanggar hukum pidana (a crime is an act forbidden and made punishable by law)
A. Pengertian Kejahatan
Kejahatan secara praktis yaitu pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan,
kesusilaan yang hidup dalam masyarakat. Kejahatan secara religi adalah pelanggaran atas perintah Tuhan (dosa) Kejahatan secara yuridis yaitu setiap perbuatan ataupun kelalaian yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi pidana oleh negara dan nyata-nyata dinukilkan dalam perundang-undangan pidana negara.
Ketiga pengertian inilah kejahatan menurut kriminologi karena kriminologi lebih luas dari hukum pidana
B. Kenakalan Remaja
Kejahatan yang dilakukan oleh remaja dinamakan kenakalan remaja (Juvenile Deliquency). Istilah ini hanya dalam ilmu sosial terutama kriminologi dalam hukum pidana tidak dikenal.
B. Simanjuntak kenakalan remaja adalah perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perkosaan terhadap norma hukum dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para Juvenile Deliquents. Menurut Badan Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga Anak (BKN-KKA) adalah sebagai kelainan dalam tingkah laku serta perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat a sosial (menakui adanya norma-norma sosial tetapi dilanggarnya) atau bahkan anti sosial (tidak mengakui adanya norma-norma sosial tetapi dilanggarnya) dalam hal mana terdapat pelanggaran-pelanggaran terhadap norma agama yang berlaku dalam masyrakat dan tindakan melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa disebut pelanggaran atau kejahatan yang dapat dituntut ataupun dihukum menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Contoh kenakalan remaja:
- Melawan orang tua
- Pergi tanpa pamit kepada orang tua
- Suka usil
- Tidak menghormati orang tua/orang lain/guru/dosen
- Semena-mena terhadap orang lain,
- Melakukan tindak pidana seperti membunuh, mencuri, merampok, memperkosa dan seks bebas serta narkoba
Penyebab Kenakalan Remaja:
a. Sebab Intern yaitu keadaan yang berasal dari dalam diri remaja seperti:
- Cacat keturunan yang bersifat biologis dan psikis tertentu yang tidak mendapatkan perawatan dan penyaluran khusus
- pembawaan yang negatif dan sukar untuk dikendalikan
- pemenuhan kebutuhan pokok yang tidak seimbang dengan keinginan remaja
- lemahnya kemampuan pengawasan diri serta sikap menilai keadaan sekitarnya
- Kurangnya kemampuan mengadakan penyesuaian dengan lingkungan dengan baik
b. Sebab extern yaitu yang berasal dari luar diri remaja seperti:
- Kurang mendapat perhatian dan cinta dari orang tua atau wali
- Perhatian dan dedikasi gurudosen terhadap murid/mahasiswa kurang
- sifat-sifat negatif anak yang latent
- kurang mendapat pengendalian dari orang tuanya hingga guru/dosen tidak mampu mengatasinya


C. Klasifikasi Kejahatan
Menurut Sutherland klaifikasi berdasarkan: Menyolok atau kegarangan dari kejahatan tersebut terdiri atas kejahatan dan ksalahan kecil. Kejahatan terbagi lagi atas kejahatan lebih serius (felony) dan kejahatan kurang serius (misdemeanor)
Menurut Bonger klasifikasi berdasarkan motif para pelaku yaitu kejahatan
ekonomis, kejahatan seksual, kejahatan politik dan kejahatan dengan pembalasan dendam sebagai motif utamanya Menurut Marshall B Clinard tipologi kejahatan
harus disusun berdasrkan suatu teori umum tentang kejahatan dengan didasarkan

4 karakteristik yaitu:
1. Karir penjahat dari sipelanggar hukum
2. Sejauhmana perilaku itu memperoleh dukungan kelompok
3. Hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola perilaku yang sah dan
4. Reaksi sosial terhdap kejahatan.
Sedangkan tipe kejahatannya yaitu:
1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminal seperti pembunuhan dan perkosaan
2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu termasuk pencurian kendaraan bermotor
3.Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu pada
umumnya dilakukan oleh orang berkedudukan tinggi.
4.Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan, spionase, sabotase dan sebagainya.
5.Kejahatan terhadap ketertiban umum
6. Kejahatan konvensional yang meliputi perampokan temasuk bentuk pencurian dengan kekerasan dan pemberatan
7. Kejahatan terorganisasi seperti pemerasan, pelacuran,perjudian terorganisasi, peredaran narkoba dan sebagainya
8.Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang


BAB III. PENJAHAT
A. Pengertian Penjahat
Sutherland menyatakan a person who commits a crime (seseorang yang melakukan perbuatan kejahatan) Istilah penjahat tidak ada dalam hukum pidana, penjahat istilah dalam ilmu sosial (kriminologi) sedangkan dalam hukum pidana  istilah tersebut sesuai dengan tingkatannya, tersangka kalau perkaranya masih di tingkat penyidikan, terdakwa apabila telah sampai kepersidangan dan jaksa penuntut umum telah mendakwanya dengan suatu pasal, terpidana apabila hakim berpendapat ia bersalah dan cukup alat bukti untuk membuktikan kesalahannya, dan narapidana apabila ia menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut dikarenakan “asas pruduga tak bersalah”sehingga apabila belum ada putusan yang in kracht yang bersangkutan belum bisa dinyatakan sebagai orang yang melakukan perbuatan kejahatan Lombroso menyatakan penjahat adalah seorang yang dapat dilihat dari penelitian bagian badan dengan pengukuran antropometris, pendapat ini ditolak Vollmer, penjahat adalah orang yang dilahirkan tolol dan tidak mempunyai kesempatan untuk merubah tingkah laku anti sosial, ini juga ditolak Parsons menyatakan penjahat adalah orang yang mengancam kehidupan dan kebahagiaan orang lain dan membebankan kepentingan ekonominya Mabel Elliot penjahat adalah orang-orang yang gagal dalam menyesuaikan dirinya dengan norma-norma masyarakat sehingga tingkah lakunya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat. H. Hari Saheroedji menyimpulkan semua defenisi tersebut bahwa penjahat adalah orang yang berkelakukan anti sosial, bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan dan agama serta merugikan dan mengganggu ketertiban umum.
B. Klasifikasi Penjahat
Mathew dan Moreau membagi penjahat atas:
- Penjahat profesional yang menghabiskan masa hidupnya dengan kegiatan kriminal
- Penjahat accidental yang melakukan kejahatan sebagai akibat situasi lingkungan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya
- Penjahat terbiasa yang terus melakukan kejahatan oleh karena kurangnya pengendalian diri.
Lindesmith dan Dunham membagi atas:
- Penjahat individual yang bekerja atas alasan pribadi tanpa dukungan budaya
-Penjahat sosial yang di dukung oleh norma-norma tertentu dengan memperolehstatus dan penghargaan dari kelompoknya
Gibbons dan Garrit y membedakan:
- Kelompok penjahat yang seluruh orientasi hidupnya dituntun oleh kelompok pelanggar hukum
- Kelompok penjahat yang orientasi hidupnya sebagian besar dibimbing  oleh kelompok bukan pelanggar hukum
GW Bawengan yang dikutip dari
Ruth Shonle Cavan tediri dari:
1. The casual offender, pelanggaran kecil sehingga tidak bisa disebut penjahat seperti naik sepeda tidak pakai lampu di malam hari
2. The occasiona criminal, kejahatan enteng
3. The episodic criminal, kejahatan karena dorongan nemosi yang hebat, awalnya bercanda akhirnya karena tersinggung membunuh
4. The white collar crime, menurut Sutherland adalah kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha dan pejabat dalam hubungan dengan fungsinya.
Menurut Ruth S.Cavan mereka kebal dengan hukum karena punya kekuasaan dan kemampuan materil
5.The habitual criminal, yang mengulangi kejahatan(residivis)
6. The profesional criminal, kejahatan sebagai mata pencaharian dan mengeai delik ekonomi atau yang berlatar perekonomian
7. Organized crime, kejahatan dengan suatu organisasi dengan organisator yang
mengatur operasi kejahatan
8. The mentally abnormal criminal, menurut Cavan seperti golongan psychopatis dan psychotis
9. The nonmalicious criminal, kejahatan yang mempunyai arti relatif, karena ada sebagian bagi kelompok lain itu bukan merupakan kejahatan seperti bugil dalam suatu ritual kepercayaan itu perbuatan suci bagi kelompok lain ini merupakan kejahatan
C. Delinkwen
Remaja menurut BKN-KKA adalah proses usia perkembangan seseorang( laki-laki atau perempuan ) dalam batas atas kategori anak dan di bawah kategori dewasa antara usia 13-17 tahun dan belum menikah Bakolak Inpres N0.6/1971 menyebut diatas 12 tahun dan di bawah 18 tahun dan belum menikah dan ditambah dengan catatan pelaku bukan lagi anak-anak dan belum dewasa Psikolog Zakiyah Drajat menyatakan remaja adalah usia transisi dimana seseorang individu telah meninggalkan usia kanak-kanak yang lemah dan penuh tanggung jawab baik terhadap diri maupun masyarakat antara 13 dan 21 tahun Dalam hukum perdata pasal 330 BW dinyatakan belum dewasa adalah umur mereka yang belum mencapai  umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin, apabila perkawinan dibubarkan sebelum usia 21 tahun, tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa
Dalam hukum pidana pasal 45 KUHP dinyatakan jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatannya yang dikerjakannya ketika umurnya belum 16 tahun …
Namun dengan keluarnya UU N0.3/1997 pasal diatas tidak berfungsi lagi maka berdasarkan :
Pasal 1 ayat (1) dinyatakan anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun tapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan anak nakal menurut pasal 1 ayat (2) yaitu:
1. Anak yang melakukan tindak pidana atau
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan Maka berlaku ketentuan undang-undang diatas menghapus ketentuanlain kecuali:
1. Pasal 4 ayat (2) dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1): 8-18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umr tersebut tapi belum mencapai umur 21 tahun tetap diajukan ke sidang anak
2. Pasal 5 ayat (1) dalam hal anak belum mencapai umur 8 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, ayat (2) jika masih bisa dibina oleh orang tua atau wali penyidik menyerahkan kepada mereka, ayat (3) apabila penyidik berpendapat anak tersebut tidak bisa dibina oleh orang tua atau wali maka anak tersebut diserahkan ke Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan Pembimbing Kemasyarakatan Batas umur remaja berbeda setiap negara seperti di Eropa remaja antara umur 16 dan 21 tahun, Belgia umur tertinggi bagi remaja 16 tahun, Swedia adalah 21 tahun, Syria 15 tahun dan Jepang 20 tahun

BAB IV.
KAUSA DAN TEORI KEJAHATAN
A. Sejarah Perkembangan Akal Pemikiran Manusia yang menjadi Dasar Dibangunnya Teori-teori Kriminologi
1. Spritualisme
bahwa segala kebaikan bersumber dari Tuhan dan segala keburukan datang dari setan, orang yag melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yaang telahterkena bujukan setan. Bencana alam dipandang sebagai hukuman atas pelanggaran norma
2. Naturalisme
Perkembangan paham rasionalis muncul dari ilmu alam setelah abad pertengahan
menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasionil dan mampu dibuktikan secara ilmiah, lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikiran tentang kejahatan pada abad selanjutnya
Tiga aliran tentang teori kejahatan:
1. Aliran klasik
Dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas (free will) Dalam bertingkah laku manusia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan segala tindakan berdasarkan keinginannya (Hedonisme) atau manusia dalam berprilaku dipandu oleh 2 hal yaitu penderitaan dan Kesenangan. Pemikiran ini mendasari L Beccaria menuntut adanya persamaan dihadapan hukum bagi semua orang dan hukuman yang dijatuhkan harus sebanding dengan perbuatan/kelakuan
2. Aliran Neo Klasik
Pembaharuan dari aliran klasik karena tidak ada keadilan misal anak-anak di hukum,orang gila di hukum maka aliran neo klasik aspek kondisi pelaku sudah mulai diperhitungkan
3. Aliran Positif Dibagi atas 2 pandangan:
1. Determinisme Biologis yaitu teori yang
mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.
2. Determinisme Cultural yaitu teori yang mendasari pemikirannya pada pengaruh sosial, budaya dan lingkungan dimana seseorang hidup
B. Pendekatan dalam mempelajari Kejahatan(Herman Manheim):
1. Pendekatan Deskriptif
yaitu suatu pendekatan dengan cara melakukan observasi dan pengumpulan data yang berkaitan dengan fakta-fakta tentang kejahatan dan pelaku kejahatan seperti:
a. Bentuk tingkah laku
b. Cara bagaimana kejahatan dilakukan
c. Frekwensi kejahatan pada ruang dan waktu yang berbeda
d. Ciri khas pada pelaku kejahatan seperti usia, jenis kelamin, bentuk tubuh
e. Perkembangan karier seorang pelaku kejahatan Pendekatan ini harus memenuhi
syarat-syarat:
a.Pengumpulan fakta-fakta tak dapat dilakukan secara random, jadi harus dilakukan secara selektif
b.Harus dilakukan penafsiran, evaluasi dan memberikan pengertian secara umum terhadap fakta-fakta yang diperoleh.
2. Pendekatan sebab akibat (kausal)
Artinya fakta-fakta yang ditemukan dalam masyarakat dapat ditafsirkan untuk mengetahui sebab musabab kejahatan, baik dalam kasus yang bersifat individual maupun yang bersifat umum Hubungan kausal dalam kriminologi berbeda dalam hukum pidana, kalau dalam huku pidana berkaitan erat dengan delik materil untuk
menentukan seseorang dapat dituntut harus ada hubungan kausal antara perbuatan seseorang dengan akibat yang dilarang oleh dan hal itu harus dapat dibuktikan, kalau dalam kriminologi hubungan sebab akibat itu dalam hukum pidana sudah dapat dibuktikan setelah itu baru dilakukan pengkajian hubungan sebab akibat secara kriminologi untuk menjawab pertanyaan mengapa seseorang itu sampai melakukan kejahatan melalui pendekatan yaitu Etiologi Kriminal
3. Pendekatan secara Normatif
Artinya kriminologi sebagai ideographic discipline dan nomotheitic discipline. Ideographic discipline yaitu mempelajari fakta-fakta, sebab akibat dan kemungkinan dalam kasus individual, sedangkan nomotheitic discipline yaitu kriminologi bertujuan untuk menemukan atau mengungkapkan hukum-hukum umumnya bersifat ilmiah yang diakui keseragaman dan kecendrungannya.

c. Teori Makro
(Teori yang bersifat abstrak):
1. Teori anomi,
teori yang mencari sebab kejahatan dari sosio-kultural dengan berorientasi pada kelas sosia . Emile Durkheim orang yang pertama kali menggunakan istilah anomi untuk menggambarkan keadaan yang disebut Deregulation didalam masyarakat (hancurnya keteraturan sosial akibat hilangnya  patokanpatokan dan nilai-nilai) Robert Merton juga penganut Anomi tapi berbeda dengan Durkheim yaitu teorinya membagi norma sosial menjadi 2 jenis yakni tujuan sosial (Societal goals) dan sarana yang tersedia (Accept talk means) untuk mencapai tujuan tersebut terdapat sarana yang dipergunakan. Tapi dalam kenyataannya tidak semua orang dapat menggunakan sarana yang tersedia sehingga digunakan berbagai cara untuk mendapatkan hal itu yang menimbulkan penyimpangan dalam mencapai tujuan.
2. Teori Konflik
Dimana masyarakat lebih bercirikan konflik daripada konsensus. Perspektif pluralis yang melihat masyarakat terdiri dari banyak kelompok, kalau perspektif konflik dalam suatu masyarakat terdapat 2 kelompok yang saling berlomba untuk mendominasi masyarakat.
Teori konflik terdiri dari:
1. Konflik konservatif menekankan pada 2 hal yaitu kekuasaan dan penggunaan. Dimana konflik muncul diantara kelompok yang mencoba untuk menggunakan kontrol atas situasi atau kejadian. Mereka yang berkuasa dapat mempengaruhi pembuatan putusan juga dapat memaksakan nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih rendah
2. Radikal konflik
Dimana terdapatnya ketidaksenagan dalam penyebaran sumber-sumber langka dalam masyarakat sementara semua oang merasa berhak atas sumber langka tersebut, inilah penyebab adanya konflik dalam masyarakat.Konflik timbul antara yangn mempunyai kekuasaan dengan yang tidak mempunyai kekuasaan, seperti buruh dengan pemilik modal.

d. Mikro Teori
Yaitu teori yang bersifat kongkrit yang berusaha menjelaskan bagaimana seorang menjadi jahat.Terkenal dengan Teori sosial kontrol yang memulai pertanyaan mengapa oang mentaati norma atau tidak semua orang melanggar hukum. Jawabannya karena orang mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan-kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi kriinil ketika kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang. Menurut Travis Hirchi dengan perfectif micro sosiological studies (social bond)
ikatan sosial ada 4:
1. Attachment dibagi menjadi attachment total dan attachment partial.
Attachment total yaitu suatu keadaan dimana seseorang individu melepas ego yang terdapat dalam dirinya diganti dengan rasa kebersamaan, rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu mentaati hukum karena melanggar berarti menyakiti perasaan orang lain. Attachment partial yaitu suatu hubungan antara seorang individu dengan lainnya dimana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dengan ego yang lain tapi hadirnya orang lain yang mengawasi. Dari 2 hal itu dapat diketahui bahwa attachment total akan mencegah hasrat seseorang melakukan deviasi sedangkan attachment partial hanya menimbulkan kepatuhan bila ada orang lain yang mengawasi bila tidak ada maka terjadi deviasi.
2. Comitment
Yaitu keterikatan seseorang pada sub sistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan. Segala kegiatan yang dilakukan bermanfaat bagi ikatan tersebut bisa berupa harta benda, reputasi, masa depan dan sebagainya
3. Involvement
Merupakan aktivitas seseorang dalam sub sistem konvensional . Jika seseorang
berperan aktif dalam organisasi kecil kemungkinan terkena deviasi. Logikanya mreka menghabiskan waktu dan tenaga dalam kegiatan tersebut. Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan dan berbuat yang melanggar hukum
4. Beliefs
Merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial, yang merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan terhadap norma atau agama akan menyebabkan orang patuh pada norma tersebut

e. Bridging Teori
Merupakan teori yang menengahi antara makro dengan mikro teori. Terdiri atas:
1. Teori sub kultur
Sub kultur adalah suatu sub bagian budaya diantara budaya dominan dalam masyarakat yang memiliki norma-norma, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilainya sendiri. Sub kultur timbul ketika sejumlah orang dalam keadaan serupa mendapati diri mereka terpisah dari masyarakat banyak dan kemudian secra bersama saling mendukung. Sub kultur bisa orang se-suku,bangsa minoritas, penghuni penjara, kelompok profesi dan sebagainya
a. Deliquent Sub Cultur
Albert Cohen melalui suatu penelitian menyatakan bahwa perilaku deliquen lebih
banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah (lowerclass) dan mereka lebih banyak membentuk geng, tidak terdapat alasa yang rasional bagi deliquen sub kultur untuk mencuri (selain mencari status kebersamaan), mencari kesenangan dengan menibulkan kegelisahan pada orang lain juga meremehkan nilai-nilai kelas menengah
b. Teori Differential Opportunity Ricard Cloward dan Llloyd Ohlin mengkobinasikan teori strain, differential asociation dan social disorganization. Dimana delinquent sub culture tumbuh subur di daerah-daerah kelas bawah dan mengambil bentuk tertentu yang mereka lakukan karena kesempatan untuk mendapatkan ukses secara tidak lebih tersebar secara merata dibanding kesempakatan untuk meraih sukses secara sah.

Bab V. Statistik Kriminal
A. Statistik Kriminal
1. Pengertian Statistik:
a. Dalam arti sempit yaitu Kumpulan fakta yang merupakan data ringkasan yang berbentuk angka (kuantitatif) seperti statiatik tentang jumlah penduduk,rata-rata usia, pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya
b. Dalam arti luas yaitu ilmu yang mempelajari cara pengumpulan, pengolahan, penyajian dan analisa data serta penarikan kesimpulan berdasarkan fakta-fakta dan penganalisaan yang dilakukan.
2. Bidang Statistik :
a.Statistik deskriptif (descriptive statistic) yaitu bidang ilmu statistik yang mempelajari tata cara penyusunan dan penyajian data yang dikumpulkan
b. Statistik Induktif (Statistik inferen/Statistik matematika) yaitu bidang ilmu statistik yang mempelajari tata cara penarikan kesimpulan mengenai populasi yang ada dalam suatu bagian dari suatu populasi tersebut.
2. metode penelitian kriminologi (Herman Mannheim)
a.Metode primer seperti kriminal, tipologi, studi kasus
b. Metode sekunder biasanya digunakan bersama-sama dengan salah satu atau
lebih sosologis, metode eksperimental, metode prediksi dan metode aperasional
2. Statistik Kriminal adalah angka-angka yang menunjukkan jumlah kriminalitas tercatat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Statistik kriminal disusun berdasarkan kriminalitas yang tercatat baik secara resmi (keplisian, kejaksaan,
pengadilan) maupun yang dicatat oleh para peneliti. Kriminalitas tercatat hanya sampel dari jumlah kriminalitas yang terjadi karena berapa jumlah kriminalitas yang terjadi tidak prnah diketahui disebabkan ada kriminalitas yang tidak dilaporkan karena berbagai alasan seperti :
a. Dark Number/Dark Figures
Yaitu bagian kriminalitas yang tidak diketahui, ini merupakan kelemahan statistik
dan memang statistik tidak pernah dapat mencatat seluruh kriminalitas yang ada
Tujuan statistik adalah untuk memperoleh gambaran/data tentang kriminalitas yang ada di masyarakat seperti jumlah, frekuensi, serta penyebaran pelaku dan kejahatan. Sehingga dapat diketahui naik turunnya kejahatan pada suatu periode tertentu di suatu daerah atau negara
b. Crime Indeks
Yaitu jenis-jenis kejahatan yang digunakan sebagai alat pengukur dalam statistik
kriminal seperti:
a. Kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan yang serius oleh masyarakat
b. Frekuensi terjadinya kejahatan tersebut cukup besar atau cukup sering
Jadi indeks kejahatan itu tidak sama untuk semua tempat atau wilayah
Contoh indeks kejahatan Polda Jawa Tengah 1978:
a. Pembakaran dan kebakaran
b. Kejahatan terhadap mata uang
c. Pembunuhan
d. Penganiayaan berat
e. Pencurian dengan pemberatan
f. Pencurian dengan kekerasan
g. Pencurian kendaraan bermotor
h. Penyalahgunaan narkotik
c. Bentuk-bentuk Statistik Kriminal:
1. Statistik kriminal yang dibuat oleh
instansi resmi dan berwenang untuk itu seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan
maupun instansi lembaga pemasyarakatan
2. Statistik kriminal yang dibuat oleh
instansi yang tidak resmi seperti badan-badan hukum dan peneliti

d. Tujuan Statistik Kriminal
1. Untuk memperoleh gambaran atau data tentang kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat seperti jumlah frekuensi terjadinya, penyebaran pelaku dan
kejahatannya.
2. Berdasarkan data tersebut pemerintah dapat menyusun kebijaksanaan penanggulangan kejahatan, sebab dengan data kejahatan tersebut penegak hukum dapat mengukur naik turunnya kejahatan pada suatu peride tertentu di suatu negara tertentu.
e. Fungsi dan kegunaan statistik
1. Alat untuk mengetahui secara kuantitas suatu permasalahan pada suatu tempat tertentu dalam waktu tertentu
2. Sebagai dasar bagi suatu perencanaan
3. Sebagai dasar bagi pengambil keputusan dan tindakan yang diperlukan
4.Dasar membuat evaluasi hasil akhir
5. Alat mengetahui ada tidaknya hubungan antara faktor satu dengan faktor lain sekalipun untuk mengukur seberapa kuatya tingkatan pengaruh tersebut
6. Dasar memperkirakan secara kuantitatif adaya kesalahan dalam penelitian
7. Dasar mengestimasi suatu prmasalahan secara kuantitatif
8. Dasar merumuskan indikator laju perkembangan suatunperubahan secra kualitatif
9. Alat mengkaji hipotesa kuantitatif Disamping berguna bagi pemerintah juga berguna bagi kriminologi untuk menjelaskan fenomena kejahatan atau menyusun teori
f. Kelemahan Statistik Kriminal
1. Statistik kriminal adalah hasil pencatatan kejahatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya polisi berdasarkan laporan dan pengaduan korban dan anggota masyarakat. Berarti hasil pencatatan dipengaruhi oleh kemauan korban atau masyarakat untuk melaporkan kejahatan yang dialami.
2. Apa yang disebut kejahatan dalam perwujudannya akan menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk perilaku dan seringkali tidak jelas, samar-samar sehingga memerlukan penafsiran,menasirkan suatu fakta atau kejadian tertentu sebagai kejahatan dipengaruhi pengetahuan dan persepsi tentang apa yang disebut kejahatan
3. Persepsi polisi juga berat sebelah. Dari jenis kejahatan yang dijadikan indeks
kejahatan yang berarti akan dapat prioritas dalam penanggulangannya terutama juga berupa kejahatan konvensional. Akibatnya kejahatan yang mendapat perhatian polisi yang masuk statistik kriminal dan itu kejahatan
konvensional.
B. Statistik Kriminal Polri
Dalam Pokja Mabes Polri ,”Peranan statistik kriminal dalam penegakan hukum pidana yang disampaikan pada Seminar Kriinologi V 1986 menyatakan Sispullahjianta, Sistem Pengumpulan, Pengolahan dan Penyajian Data, mencakup 3
sistem:
a. Sub sistem pengumpulan data (Pulta)
b. Sub sistem pengolahan data (Lahta)
c. Sub sistem penyajian data (Jianta) Data sektor kepolisian seperti:
a. Data astagatra tentang:
- ciri goegrafis wilayah kesatuan yang bersangkutan
- ciri demografi penduduk setempat termasuk jenis kelamin, pendidikan, status sosial serta kuantitasnya
- ciri dan situasi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama dan hankam. Ini merupakan pangkal orientsi penilaian perkembangan situasi selanjutnya
b. Data tentang gangguan kamtibmas berupa:
- jumlah, jenis, sifat dan skala waktu kriminalitas di daerah tersebut
- jumlah, jenis, sifat dan skala waktu pelanggaran yng terjadi
- ploting peristiwa kejahatan dan pelanggaran diatas peta geografi, guna mengenali sifat pengelompokkan dan kecendrungan penjabaran dalam wilayah bersangkutan
c. Data kekuatan Polri setempat:
- jumlah, kualitas dan struktur kekuatan personil
- jumlah, kualitas kekuatan struktur alat penunjang dalam mendukung pelaksanaan tugas operasional
- jumlah, kualitas dan struktur masalah yang dihadapkan pada kesatuan yang bersifat menghambat kegiatan operasional

C.Metode Pengolahan Data
Kriminal oleh Polri :
1. Pengolahan data kuantitatif guna memahami frekuensi, distribusi, tingkat kecendrungan dan pola-pola kriminalitas tertentu
2. Pengolahan data kualitatif guna memahami tingkat kerawanan daerah tertentu, hubungan korelatif kriminogen, modus operandi, dan hazard kepolisian
D. Pengolahan Hasil Data Kriminal:
1. Secara kuantitatif:
- pola kejahatan (Crime pattern)
- total kejahatan per tahun (crime total)
- total rata-rata kejahatan per bulan
- rata-rata kejahatan per tahun dalam perbandingan per 100.000 penduduk (crime rate)
- Indeks kejahatan per tahun (crime index)
- Frekuensi kejahatan menurut jam dalam detik (crime clock)
- Rata-rata kekuatan Polri per 1000 penduduk (police employee)
- Kemampuan menyelesaikan perkara yang dilaporkan per tahun (crime clearance)
2. Secara kualitatif:
- Hubungan antara usia dan kejahatan, Di Jakarta usia pelaku kejahatan adalah usia produktif antara 16 – 35 tahun
- Hubungan antara sudah atau belum bekerja dengan kejahatan, tidak ada korelasi antara belum dan sudah bekerja dengan pelaku kejahatan.
- Hubungan tempat tinggal tetap dengan kejahatan, tidak ada korelasi yang kuat antara tuna wisma dan kejahatan.
- Hubungan urbanisasi fisik dengan kejahatan, terdapat hubungan korelasi yang kuat antara pendatang dengan kejahatan
- Hubungan pendidikan dengan kejahatan, terdapat korelasi yang kuat mereka yang berpendidikan dengan kejahatan.
- Hubungan motivasi dan kejahatan, terdapat korelasi yang kuat antara motif ekonomi dengan kejahatan

F. Permasalahan Statistik Kriminal dalam Praktek:
1. Akurasi statistik kriminal Statistik kriminal merupakan alat bantu untuk memberikan efektifitas upaya memerangi kejahatan. Peranannya untuk menghasilkan informasi yang mendekati nilai objektif pengambilan suatu keputusan. Tingkat akurasi statistik kriminal harus mampu memberikan analisa keputusan tentang:
- cara efektif dan efisien dalam upaya menyadarkan masyarakat terhadap bahaya kejahatan dan kesadaran memahami hukum yang berlaku untuk ditaati
- Cara efektif dan efisien dalam upaya mencegah berlangsungnya kejahatan untuk jenis, waktu dan kondisi tertentu
- Cara efektif dan efisien dalam upaya menindak kejahatan yang telah terjadi, apakah perbaikan sarana dan prasarananya atau lainnya
- Cara efektif dan efisien dalam upaya melakukan rehabilitasi atau memasyarakatkan kembali pelaku kejahatan
2. Kelemahan bidang manajemen informasi kriminal Secara ideal/teoritis statistik kriminal diharapkan mampu memberikan penalaran objektif tentang
aspek penampilannya dalam masyarakat berkaitan dengan data (Si), (Di), (Bi) dan aspek fundamental yang mencakup data (Men). Setiap aspek memiliki rincian secara rasional objektif. Oleh karenanya data masukan yang dihimpun haruslah mempunyai kemampuan untuk diolah dalam rancangan berbagai disiplin ilmu.
Statistik kriminal dalam pengumpulan, pengolahan dan penyajian data masih bersifat instansional seperti:
1. Golongan praktisi sesuai KUHAP
a. Polri dan polisi khususnya seperti imigrasi, bea cukai, departeme kesehatan dan lainlain
b. Angkatan perang RI berdasarkan UU N0.20 tahun 1982 dibebani tugas penegakan hukum (TNI AL)
c. Unsur struktural teknik pemerintahan daerah dengan tugas menegakkan peraturan pidana daerah
d. Jaksa baik selaku penuntut umum dalam sistem peradilan pidana maupun selaku
pengemban fungsi polisi tertentu berdasarkan undang-undang (misal terhadap kasus korupsi)
e. Pengadilan di segala tingkat yang berintikan setiap putusan yang ditetapkan hakim terhadap kasus yang diperiksanya beserta hasil pengawasan pelaksanaan putusan sesuai KUHAP
f. Instansi pelaksana putusan hakim meliputi jaksa, lembaga pemasyarakatan untuk pidana penjara
g. Jaksa dan BISPA untuk pidana penjara
h. Pengemban tugas membela perkara/pembebantuan hukum
2. Golongan ilmuwan / kampus
a. Yang berorintasi pada sumber hukum
b. Yang berorintasi pada sumber psikologi
c. Yang berorintasi pada sumber psikiatri
d. Yang berorintasi pada sumber sosiologi
e. Yang berorintasi pada sumber komunikasi massa
f. Yang berorintasi pada sumber antropologi/biologi
g. Yang berorintasi pada sumber ilmu kepolisian

BAB VI. PENANGGULANGAN
KEJAHATAN
A. Upaya Penanggulangan Kejahatan Secara Umum
1. Upaya Represif
Adalah usaha yang dilakukan untuk menghadapi pelaku kejahatan seperti dengan pemberian hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku dimana tujuan diberikan hukuman agar pelaku jera , pencegahan serta perlindungan sosial. Pidana sebagai salah satu bentuk realisasi atau respons terhadap kejahatan yang merupakan salah satu objek kriminologi. Disinilah pentingnya Litmas (Perlindungan Masyarakat) dari ahli psikologi maupun ahli sosial dari BISPA sehingga diketahui secara jelas latar belakang seseorang melakukan kejahatan. Berdasarkan hal itu aparat penegak hukum mempunyai pedoman dalam menentukan jenis hukuman yang cocok dengan kondisi pelaku, Pasal 10 KUHP mengatur jenis pidana tersebut yaitu:
a.Pidana pokok:pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda
b. Pidana tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu, pencabutan beberapa barang tertentu, pengumuman putusan hakim Ada juga pidana alternatif berupa pidana bersyarat bagi pelaku yang dipandang tidak dapat bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya (Pasal 44 KUHP), pidana lain bagi yang masih di bawah umur (Pasal 45,46, 47 KUHP)Menurut paham Determinisme pelanggar tidak  perlu dikenakan pidana karena orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan perbuatan tapi dipengaruhi oleh watak pribadi, faktor biologis dan faktor lingkungan masyarakat, kejahatan merupakan manifestasi keadaan jiwa seseorang yang abnormal sehingga pelaku tidak bisa disalahkan dan tidak bisa dipidana(Lombroso, Garofalo, Terri) Hal itu ditentang Roselan Saleh karena:
1. Pidana tidak terletak pada prsoalan tujuan yang hendak dicapai tapi pada persoalan seberapa jauh mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan.
2. Adanya usaha perbaikan dan perawatan tidak mempunyai arti sama sekali bagi siterhubung dan harus ada reaksi atas pelanggaran norma yang dilakukannya.
3. Pengaruh pidana bukan semata ditujukan pada penjahat tapi juga untuk mempengruhi masyrakat mentaati norma-norma masyarakat
2. Upaya Preventif
Yaitu upaya penanggulangan non penal (Pencegahan) seperti:
- memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi masyarakat meningkatkan kesadaran hukum serta disiplin masyarakat
- meningkatkan pendidikan moral